mau band kamu ada disini? atau lagumu dishare disini? GRATIS....!!! buat anak band yang dah punya lagu sendiri n pengen dishare ke temen-temen laen, disini tempatnya...

ikuti aturan mainnya:
1. kirimkan lagu jadi dengan audio mixing yang normal dilengkapi dengan profil band via email ke: deditsabit@gmail.com
2. beri judul emailnya dengan nama "BAND"
3. konfirmasikan pengiriman via chatbox yang tersedia di sebelah kiri
4. ditunggu hingga proses penyuntingan selesai untuk diluncurkan...

jika ada perubahan dengan lagu, data atau lagunya tidak ingin dipublikasikan di blog ini lagi, segera hubungi admin, atas kerjasamanya kami sampaikan terima kasih dan salam tiga jari untuk mengharumkan citra musik Indonesia...

Photobucket

Post

Jadi Musisi, Jangan Cengeng!

By Djoko Moernantyo

“ORANG YANG berhasil total, adalah orang yang pernah merasakan gagal total.” – JFK.

PERNAH GAGAL? Kalau belum, berarti kamu belum teruji. Artinya juga, kamu perlu waspada dan hati-hati karena ketika kegagalan mampir, rasanya tidak enak. Sakit malah. Tapi kalau kita siap untuk kondisi apapun, termasuk kegagalan bahkan ketika sedang sukses. Semuanya akan berlalu biasa saja. Kita tidak ‘termanjakan’ oleh kesuksesan yang sedang membuai. Sayangnya, kemanjaan itulah yang kini banyak menghinggapi kalangan musisi baru Indonesia.

+++
Riset menunjukkan – bukan resmi dari lembaga riset sih—banyak artis yang merasa membubung tinggi ketika lagunya masuk chart, RBT-nya bergerak signifikan dan off-airnya mulai padat. Apalagi kalau sudah beberapa kali masuk televisi, meski kudu tampil lypsinc, komat-kamit kaya baca rapal. Ketika itu sudah diraih, dijamin rasanya sudah seperti superstar yang paling hebat.

Memang, seorang Niezstche pernah mengatakan ‘Without Music, Life Would be A Mistake’ dan saya setuju pernyataan itu, tapi musisi –siapapun dia—juga harus mengerti apa yang dikatakan Presiden Amerika Serikat itu. Orang yang berhasil, biasanya pernah merasakan gagal. JFK ingin mengatakan, tidak ada kesuksesan instan. Kalau pun itu teraih, jarang yang napasnya panjang. Apalagi yang tiba-tiba star-syndrom. Dijamin bakal jatuh berdebam.

Eaa lalu –sebut saja sampai 90-an, jauh berbeda perlakuan terhadap musisi dibanding era 2000-an ini. Saya masih ingat, Iwan Fals sempat nongkrong bareng bareng fans-nya, malah tukeran kaos, usai konser di salah satu kota di Jawa Tengah. Kemudian legenda Napalm Death –sang dewa grindcore dunia itu—memilih ngobrol bareng wartawan dan fans, usai preskon jelang konsernya di Jakarta, tahun 2005 silam. Mereka egaliter dan membumi, meski secara nama, Iwan fals dan Napalm Death amatlah besar. Legendaris malah.

Bagaimana dengan musisi sekarang? Tidak semua menjadi “sok artis” sih, banyak yang sadar diri kalau mereka belumlah apa-apa di awal karirnya. Tapi tidak sedikit juga yang bak selebritis berjalan di red carpet, kepala mendongak, tidak liat kanan kiri. PAdahal belum tentu karyanya disukai orang, diapresiasi orang, dibeli orang atau di-download orang. Menurut saya, ada beberapa analisa karakter yang bisa dibedah.

1. Mental
Banyak musisi sekarang lahir karena kekuatan ekonominya. Artinya, menjadi musisi adalah ajang uji coba. Bisa beli alat, punya studio sendiri, anak kuliahan, disokong financial orangtua yang kuat. Karakter ini menciptakan mental musisi yang lembek dan manja. Semua maunya diurusin dan disuapin. Tidak punya kreativitas dan imajinasi, mau dibawa kemana masa depan karirnya sebagai musisi. Ketika sudah mentok dan kurang –bukan tidak—berhasil, profesi lain adalah pelarian.

2. Miskin Ide
Pasrah dengan label atau manajemennya saja. Buat saya, menjadi musisi itu sebenarnya kita sedang belajar tentang kehidupan dan [tentu saja] industri kapitalisnya. Sekolah kehidupan maksudnya, kita ditempa mengerti orang lain, karena musik dimainkan bukan untuk diri sendiri, tapi juga untuk menyenangkan orang lain –sebut saja fans. Sekolah kehidupan itu juga berarti sabar. Sabar dengan proses, bukan grusa-grusu, maunya cepet ngetop dan bisa langsung kaya. Sayangnya pula, banyak musisi yang miskin ide dalam banyak hal. Soal strategi promosi [ini memang tugas tim manajemen, tapi tidak ada salahnya bukan musisi beride?], soal trend, soal lirik, soal kostum, soal manajemen artis itu sendiri. Anggapan meeka, bermusik adalah “hanya” bermain musik. Seharusnya memang begitu, tapi kalau memang bisa beride menarik dan brilian, why not?

3. No Cutting Edge ato Takut Cutting Edge?
Ketakutan “miskin” dan gagal di industri musik, membuat banyak musisi baru [aha, lama juga ada], merasa tidak perlu berinovasi dalam karya musiknya. Ikut arus dan tren adalah cara yang paling aman untuk bertahan. Atau dalam istilah kawa-kawan saya adalah “melacur” saja. Salah? Ya tidak juga, karena itu pilihan kok. Tapi kalau targetnya adalah bermusik untuk napas, jiwa dan eksistensi hati, pilihan aman itu adalah kebodohan. Cutting Edge jelas bukan pilihan, karena musik-musik di kebun satu ini, meski  dianggap lebih berkualitas, tapi lebih sering disebut-sebut sebagai “musik tidak laku!” Nah lo…

Makanya, jadi musisi jangan cengeng ya….:)

Sumber: AirPutihku

cek band/ daerahmu disini:

bali, bandung, bogor, bojonegoro, depok, jakarta, jember, kudus, lumajang, makassar, malang, pamekasan, probolinggo, purwokerto, semarang, situbondo, sumenep, surabaya, tangerang, dll.
supported by deditsabit