mau band kamu ada disini? atau lagumu dishare disini? GRATIS....!!! buat anak band yang dah punya lagu sendiri n pengen dishare ke temen-temen laen, disini tempatnya...

ikuti aturan mainnya:
1. kirimkan lagu jadi dengan audio mixing yang normal dilengkapi dengan profil band via email ke: deditsabit@gmail.com
2. beri judul emailnya dengan nama "BAND"
3. konfirmasikan pengiriman via chatbox yang tersedia di sebelah kiri
4. ditunggu hingga proses penyuntingan selesai untuk diluncurkan...

jika ada perubahan dengan lagu, data atau lagunya tidak ingin dipublikasikan di blog ini lagi, segera hubungi admin, atas kerjasamanya kami sampaikan terima kasih dan salam tiga jari untuk mengharumkan citra musik Indonesia...

Photobucket

Post

'Politik Musisi' Adalah Sampah Musik!

by. djoko moernantyo


PERNAH mendengar istilah politik kantor? Kalau pernah bekerja sebagai staff atau karyawan di sebuah perusahaan, entah besar, entah kecil, pasti tahu atau malah pernah merasakan yang namanya politik kantor itu. Dan percayalah, kalian tidak ingin merasakannya. Kecuali kalian adalah pemain atau dalang dari politik kantor itu.  Kalau di musik, ada yang melakukan 'politik musisi' begitu? Jangan deeeeh......

+++

LALU apa korelasinya dengan industri musik itu sendiri? Wah, banyak. Selain bicara soal politik kantor di industri musik [dan saya tidak akan menulisnya disini], politik gesekan antar musisi, baik dalam satu genre atau beda genre, bukan rahasia lagi. Siapa bilang slogan peace dan respect  yang didengungkan banyak musisi, selalu begitu adanya? Siapa bilang musik adalah universal bisa diterima oleh semua kalangan. Percaya atau tidak, kalau dalam satu genre pun, slogan-slogan itu hanya dianggap kentut menebar bau busuk doang.

Ini kisah satu genre. Dalam sebuah genre, ternyata [diakui atau tidak], juga muncul kotak-kota kubu. Artinya, banyak orang yang merasa paling berhak sebagai pemilik genre yang asli dan sah, memilih membuat kubu yang isinya kawan-kawan, orang-orang dekat dan siapapun yang dianggap tidak berseberangan.  Biasanya, musisi tipikal ini, cukup terkenal dan punya karya yang bisa dianggap bagus dari dikenal banyak orang. Tapi repotnya, dia tidak punya amazing heart dalam menerima perbedaan dengan orang lain, meski di dalam genre yang sama.

Ketika musisi itu memegang kunci di sebuah acara misalnya, jangan harap yang berseberangan bakal masuk list sebagai penampil. Meski mungkin punya musikalitas yang bagus, massa yang melimpah tapi kalau berseberangan dengan di pemegang kunci itu, silakan bermimpi dulu yee…

Politik musisi memang tidak jauh beda dengan politik kantor. Saling gesek, sikut dan menjatuhkan. Hanya tidak pernah terekspose media. Jangan berkilah tidak pantas diberitakan karena sebenarnya itulah kondisi realita yang sampai saat ini masih terjadi di industri musik Indonesia.

Pertanyaan saya, bagaimana bisa memberi pembelajaran kepada fans dan dunia musik, kalau dirinya sendiri masih memperlakukan kawan-kawan musisinya sebagai “lawan” bukan sebagai sahabat dan kawan meningkatkan kualitas musikalnya. Terlalu muluk? Yah, anggap saja sebagai kawan untuk ngobrol, bukan kawan untuk disenggol dan ditabrak.

Kalau kemudian terjadi fanatisme sempit di kalangan fans dan musisi, buat saya itu bagian dari politik musisi [bukan musisi berpolitik ya J]. Musisi yang di-idola-I tidak memberikan pencerdasan tentang pentingnya unity, respect dan peace.  Percaya atau tidak fanstisme genre sampai sekarang masih kuat. Meski tampak diluaran begitu damai dan nyaman.

Misalkan penggemar R n B menyebut musik dangdut adalah kuno dan kampungan yang identik dengan orang udik, atau penggemar Jazz mengatakan penganut punk dan rock adalah orang-orang urakan, adalagi penggemar musik Rock menyebut penganut pop adalah orang yang kepribadiannya lembek atau cengeng.

Ungkapan-ungkapan itu sering terlontar dalam pergaulan sehari-hari, entah disadari dengan cermat ataupun tidak. seorang penikmat musik sebagai seni, seharusnya tidak "melecehkan" aliran musik lainnya, karena patut juga dihargai keberagaman cara menikmati sebuah seni. memang sangat berbeda dengan pecinta lukisan yang juga memiliki aliran atau gaya. juga penikmat seni sastra dengan berbagai gaya dan aliran cenderung tidak saling mengagungkan alirannya masing-masing.

Dulu, pernah terjadi di era 80-90an, fanatisme anak grunge penggemar Nirvana dan penggemar Guns N' Roses yang saling mendewakan idol mereka dan meremehkan aliran musik "lawan"nya. Juga yang pernah terjadi di Indonesia seorang pembawa acara musik mengenakan kaos yang bertulisan melecehkan nama band tertentu.

Kubu-kubu dalam musik memang selalu ada dan akan terus ada. Tapi kalau kemudian mematikan yang lain, memasung yang lain, bahaya sekali. Buat saya, musik adalah bagian dari kreatifitas manusia yang patut dihargai, apalagi saling bertikai karena sekedar kebanggaan terhadap sang idol. Di Indonesia sendiri masih sering terjadi pertikaian antara penggemar band atau penyanyi tertentu.

Pertikaian, nggak menganggap kawan sebagai kawan, bermain-main dengan ‘politik musisi’ untuk musisi lain, buat saya adalah sampah terbesar di industri musik dan semua lingkarannya.
Sumber: AirPutihku

cek band/ daerahmu disini:

bali, bandung, bogor, bojonegoro, depok, jakarta, jember, kudus, lumajang, makassar, malang, pamekasan, probolinggo, purwokerto, semarang, situbondo, sumenep, surabaya, tangerang, dll.
supported by deditsabit