REOG N’ ROLL – Making Love Tradisi & Budaya Populer
by. djoko moernantyo
TAK BANYAK musisi yang mengerti tentang sejarah, budaya dan sinergi antara karya dan kebudayaan. Ketika manggung, mereka hanya benar-benar manggung dan menjadi musisi an sich. Tak peduli band pop, rock, dangdut atau jazz misalnya. Mereka hanya berpikir soal performance, tapi nyaris tak pernah memikirkan bagaimana musikalitas yang mereka usung, kemudian bisa menjadi pergelaran budaya utuh. Rempong? Bukankah tak ada budaya yang hebat, tercipta dalam hitungan detik? Jadi, apa alasan mengatakan repot.
Saya mengambil contoh budaya reog. Buat saya, kesenian asli Ponorogo ini punya spirit rock n’ roll yang amat kental. Mereka –para pemain reog itu—punya kekuatan linuwih yang membuat mereka bisa mengangkat topeng yang beratnya puluhan kilogram dengan menggigitnya. Atau mengusung manusia di atas topeng itu, tetap dengan menggigitnya. Gambaran keberanian dan karakter laki-laki yang tegas, kuat dan egois, nampak semua dalam filosofi reog itu.
Saya terkesima ketika salah satu band punk, Endank Soekamti mengenakan kostum reog dalam konsernya. Awalnya saya berpikir hanya gimmick untuk menarik perhatian penonton dan fansnya. Tapi ketika usai acara, saya ngobrol serius dengan personil band yang punyamassa fanatik itu, mereka memberi penjelasan yang tidak pernah saya pikirkan. Karena sudah sadar punya “kekuatan” mempengaruhi, band ini melihat sisi budaya kerap diabaikan. “Kalau sudah diakui pihak lain, baru kita berteriak. Jadi, mengapa kita tidak memperkuat kecintaan kepada budaya itu,” ucapnya.
Mungkin perlu waktu, perlu dana tambahan, perlu tenaga ekstra untuk mengenakan kostum yang tidak ringan itu. Kemudian juga gerak untuk petakilan di atas panggung juga terbatas, tapi saya amat mempercayai efek positif jangka panjangnya, jauh efektif.
Musik juga lahir sebagai satu kebudayaan. Kalau kemudian lahir berbagai genre yang lebih cepat melesat, punya fans dan pengikut yang besar, alangkah baiknya menggamit budaya lain yang similair dan bisa bersinergi. Pun ketika punk, rock, pop atau jazz misalnya, menggaet reog [Ponorogo] sebagai bagian entitas berkeseniannya, tak ada yang aneh bukan? Siapa tahu, kelak malah muncul genre baru, reog n’roll.
Saya mengambil contoh budaya reog. Buat saya, kesenian asli Ponorogo ini punya spirit rock n’ roll yang amat kental. Mereka –para pemain reog itu—punya kekuatan linuwih yang membuat mereka bisa mengangkat topeng yang beratnya puluhan kilogram dengan menggigitnya. Atau mengusung manusia di atas topeng itu, tetap dengan menggigitnya. Gambaran keberanian dan karakter laki-laki yang tegas, kuat dan egois, nampak semua dalam filosofi reog itu.
Saya terkesima ketika salah satu band punk, Endank Soekamti mengenakan kostum reog dalam konsernya. Awalnya saya berpikir hanya gimmick untuk menarik perhatian penonton dan fansnya. Tapi ketika usai acara, saya ngobrol serius dengan personil band yang punyamassa fanatik itu, mereka memberi penjelasan yang tidak pernah saya pikirkan. Karena sudah sadar punya “kekuatan” mempengaruhi, band ini melihat sisi budaya kerap diabaikan. “Kalau sudah diakui pihak lain, baru kita berteriak. Jadi, mengapa kita tidak memperkuat kecintaan kepada budaya itu,” ucapnya.
Mungkin perlu waktu, perlu dana tambahan, perlu tenaga ekstra untuk mengenakan kostum yang tidak ringan itu. Kemudian juga gerak untuk petakilan di atas panggung juga terbatas, tapi saya amat mempercayai efek positif jangka panjangnya, jauh efektif.
Musik juga lahir sebagai satu kebudayaan. Kalau kemudian lahir berbagai genre yang lebih cepat melesat, punya fans dan pengikut yang besar, alangkah baiknya menggamit budaya lain yang similair dan bisa bersinergi. Pun ketika punk, rock, pop atau jazz misalnya, menggaet reog [Ponorogo] sebagai bagian entitas berkeseniannya, tak ada yang aneh bukan? Siapa tahu, kelak malah muncul genre baru, reog n’roll.
Sumber: AirPutihku