mau band kamu ada disini? atau lagumu dishare disini? GRATIS....!!! buat anak band yang dah punya lagu sendiri n pengen dishare ke temen-temen laen, disini tempatnya...

ikuti aturan mainnya:
1. kirimkan lagu jadi dengan audio mixing yang normal dilengkapi dengan profil band via email ke: deditsabit@gmail.com
2. beri judul emailnya dengan nama "BAND"
3. konfirmasikan pengiriman via chatbox yang tersedia di sebelah kiri
4. ditunggu hingga proses penyuntingan selesai untuk diluncurkan...

jika ada perubahan dengan lagu, data atau lagunya tidak ingin dipublikasikan di blog ini lagi, segera hubungi admin, atas kerjasamanya kami sampaikan terima kasih dan salam tiga jari untuk mengharumkan citra musik Indonesia...

Photobucket

Post

Asketisisme Musisi. Berani?


APAKAH ada musisi jujur sekarang ini? Tidak mengklaim karya orang sebagai bagian dari karyanya?  Apakah ada musisi yang mengajarkan kesederhanaan? Apakah ada musisi yang selalu ingin mengatakan kebenaran? Tidak mudah menjawab siapakah pemiliik paham asketisme yang sejati.  Tidak ada, kalau kita bicara dalam konteks kesempurnaan manusia.  Tapi mungkin ada ketika kita bicara personifikasi sosok seperti yang menjadi pertanyaan di atas. 

Asketik, berasal dari bahasa Yunani, asketis,  pada mulanya bermakna “pelatihan”. Biasanya para atlit Yunani dulu, melakukan latihan keras sebelum pertandingan di Bukit Olimpus, yang salah satunya adalah mengosongkan dan mengasingkan diri dari nafsu-nafsu duniawi. Demikian pula dalam agama-agama besar dunia, langkah asketisme dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai transformasi sehingga jiwa manusia mampu satu tahap lebih tinggi ke arah kesempurnaan. Dalam Kamus Besar Indonesia III, Asketisme bermakna “paham yang mempraktekkan kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban“.

Di dunia ini, tak banyak tokoh yang bisa menjadi contoh dan panutan saat kita bicara tentang kesederhanaan, kebenaran dan kejujuran.  Dalam deretan kenabian, mungkin kita bisa menyorongkan nama Yesus, Muhammad, atau Budha Gautama sebagai sosok yang selaras dan segaris dengan kebenaran, kejujuran dan kesederhanaan tadi. Merekalah yang akhirnya menjadikan tiga pijakan kemanusiaan itu sebagai dasar ajaran yang mereka sebarkan. Sebagai pecinta pujian dan nyanyian  –oh ya, banyak catatan sejarah yang mengatakan tiga nabi besar itu adalah pecinta musik – nama-nama itu memberi banyak inspirasi bahkan sampai detik ini.

Sosok lain yang bisa dijadikan panutan adalah Mahatma Gandhi dari India. Dia bukan nabi, bukan malaikat, bukan pemilik kebenaran mutlak. Dia manusia biasa yang memilih menjadi sederhana, jujur dan berusaha memaknai kebenaran dengan benar. Mungkin pernah salah, mungkin pernah tidak jujur dan mungkin juga pernah tidak melakukan kebenaran. Tapi dalam perjalanan waktu, inilah sosok yang berusaha melintas batas perbedaan dengan melakukan kebaikan yang sesungguhnya.

Saya mengutip sebuah perumpamaan dalam bahasa Bali, “de ngaden awak bisa depang anake ngadanin, geginane buka nyampat, ilang luhu buk katah, wyadin ririh nu liu nyanang pelajahin” (jangan mengaku diri bisa, biarkan orang yang menyebutnya, seperti menyapu, hilang sampah debu berserakan, walau pintar, masih banyak yang perlu dipelajari)

Kita? Saya dan Anda? Masihkah menjadi makhluk, musisi, pecinta musik atau sekadar penikmat musik yang hedonis yang bangga dengan kebendaan yang kita miliki? Bukankah kita selalu menganalogikan kesuksesan dan kehebatan dengan seberapa  banyak benda yang kita miliki? Bukankah kita selalu melihat kekuatan dengan seberapa ngetopnya kita? Tanpa itu semua, kita adalah orang lemah, orang marginal dan orang yang yang tidak sukses?

Kalau Anda penganut Asketisme, tentu akan menjungkirbalikan itu semua. Kesederhanaan bukan berarti kita harus jadi musisi sampah, tapi  bisa melihat musisi lain sebagai satu manusia sederajat, siapapun dan bagaimanapun dia. Kejujuran bukan berarti kita harus jadi pendeta, ustads atau rahib. Kejujuran secara sederhana adalah ketika kita tidak menginjak dan bisa melayani orang lain dengan karya jujur kita. Sementara kebenaran adalah saat kita menjadi diri kita sendiri. Masih maukah kita jadi asketis? 

*tulisan ini dimuat di rubrik FretLess di Majalah SoundUp Mei 2011 dengan sedikit perubahan judul


Sumber: AirPutih

cek band/ daerahmu disini:

bali, bandung, bogor, bojonegoro, depok, jakarta, jember, kudus, lumajang, makassar, malang, pamekasan, probolinggo, purwokerto, semarang, situbondo, sumenep, surabaya, tangerang, dll.
supported by deditsabit