mau band kamu ada disini? atau lagumu dishare disini? GRATIS....!!! buat anak band yang dah punya lagu sendiri n pengen dishare ke temen-temen laen, disini tempatnya...

ikuti aturan mainnya:
1. kirimkan lagu jadi dengan audio mixing yang normal dilengkapi dengan profil band via email ke: deditsabit@gmail.com
2. beri judul emailnya dengan nama "BAND"
3. konfirmasikan pengiriman via chatbox yang tersedia di sebelah kiri
4. ditunggu hingga proses penyuntingan selesai untuk diluncurkan...

jika ada perubahan dengan lagu, data atau lagunya tidak ingin dipublikasikan di blog ini lagi, segera hubungi admin, atas kerjasamanya kami sampaikan terima kasih dan salam tiga jari untuk mengharumkan citra musik Indonesia...

Photobucket

Post

Masih Mau Jadi Anak Band?

Oleh: Djoko Moernantyo
 

Maklumat: Jangan mau jadi anak band!  Benar, kalau memang tidak mau kejeblos, urungkan niat jadi anak band. Karena kalau tetap nekat ngeband, harus siap dengan banyak hal yang menyakitkan loh. Jangan melulu bayangkan yang enak, karena kalau tidak bisa membuat kita terluka dan kapok ngeband. Tidak percaya?

+++

MUNGKIN apa yang ditulis di atas, akan dianggap sebagai lelucon semata. Bagaimana tidak, wong kasta anak bansekarang sedang hebat-hebatnya, malah disarankan untuk jangan mau jadi anak band. Alasannya apa?

ALASAN #1 KESALAHAN YANG DIANGGAP BENAR

Pernah mendengar pepatah, “alah bisa karena biasa” nggak?  Artinya, segala sesuatu itu akan menjadi kebiasaan, karena kita terbiasa melakukannya. Tidak peduli kebiasan baik atau buruk, ketika kita biasa melakukannya setiap hari, lama-lama itu akan menjadi sesuatu yang biasa. Kita belajar gitar setiap hari, mungkin awalnya gugup dan takut salah. Tapi setahun, dua tahun dan seterusnya, pasti kita akan makin terlatih dan biasa. Dan jadilah gitaris handal!

Perlintasan seperti itu juga muncul dalam banyak bidang, salah satunya musik tentu saja. Banyak hal yang akhirnya menjadi salah kaprah, karena kebiasaan yang sebenarnya kita sama-sama tidak tahu, siapa yang memulainya. Misalnya nih, dulu banyak musisi –apapun genrenya– merasa kurang nendang di atas panggung kalau belum mabuk dan giting. Seolah masalah itu dianggap ringan dan sepele saja. Padahal jelas-jelas salah. Tapi di kalangan musisi, tindakan itu pernah menjadi pattern yang dibenarkan atas nama aksi panggung dan kejantanan [dan rock n’roll??]

Atau siapa sih yang bisa menjelaskan asal usul groupis di dunia ini? Sejak kapan musisi “harus” dipuja dengan gelinjang tubuh yang bisa dinikmati, ditiduri bahkan diperlakukan seperti tak bernyawa saja. Jangan tanya soal arti pelecehan, karena dari setiap musisi yang berperilaku seperti itu, mereka tak pernah tahu [atau tak peduli] dengan perspektif gender, sexual harassment, dan equality. Popstar atau rockstar konon memang “HARUS” begitu. Harus ya?

Bahwa kadang-kadang musisi yang sudah punya nama mendapat priveledge, itu tidak salah. Tapi kalau kemudian harus diperlakukan seolah-olah dia adalah “tuhan” yang berhak mengatur hidup orang lain ketika dia manggung [dan usai manggung], itu yang harus dibenahi. Paradigma menyenangkan selebritis dengan memberikan apapun yang mereka mau [meski itu artinya kudu melanggar tatanan], harus dibongkar! Untuk tampil apik dan menghibur penggemarnya dengan maksimal, memang wajib dipersiapkan. Tapi kalau minta dilayani bak Firaun memperlakukan harem-hareemnya, silakan belajar lagi jadi manusia.

Di Indonesia, salah kaprah malah sering dimanfaatkan musisi untuk populer. Perilaku yang tidak ada hubungannya dengan ke-karya-an malah lebih menonjol. Dan apa yang menjadi komentar dari banyak orang tentang hal itu? “Biasa, anak band!” What? Memang semua anak band begitu?

Dan itulah yang jadi stigma hingga detik ini tentang anak band dan kehidupannya. Perempuan, kesombongan, perilaku menyimpang, keliaran sikap, adalah imajinasi setiap orang tentang anak band. Dan itu pula yang jadi imajinasi [liar] anak-anak muda yang ingin jadi anak band. Kalau yang benar-benar ingin ngeband, [maaf] rasanya jadi terlihat tolol karena seperti orang aneh yang tidak mau ikut salah kaprah. Benar, tapi salah. Saya pun yang menyarankan untuk bermusik dengan benar, akan menjadi lucu.

Coba kita luruskan lagi pemahaman kita tentang jadi anak band itu. Apa sih target pertama ketika memutuskan bermusik dan ngeband? Jawabanya klise-nya adalah ingin karyanya didengar oleh banyak orang. Hmm, tidak salah, tapi itu alasan yang terlalu ngawang-awang. Alasan sebenarnya adalah karena mereka gelisah. Gelisah ketika apa yang mereka buat tidak diapresiasi orang, dengan cara apapun. Ini dalam arti positif.

Gelisah itu memacu kreativitas dan karya. Tapi ketika gelisah karena merasa dirinya tidak punya eksistensi yang diperhitungkan, menjadi musisi ngetop untuk bisa melakukan “kesalahan-kaprahan” bertubi-tubi dan turun temurun di kalangan musisi itu, berkarya adalah kepalsuan yag dibungkus popularitas. Ketika tercapai, tentu saja imajinasi liarnya tersalurkan. Dan sah saja, wong anak band toh?

Tampak utopis menjadi musisi yang tidak salah kaprah bukan? Ada yang berani menentang arus-kah dan mengembalikan kesalah-kaprahan itu kembali menjadi kebenaran? Atau sudah tidak ada lagi kebenaran di antara musisi?

ALASAN #2  SIAP BERURUSAN DENGAN HUKUM?

Pernah mendengar kasus-kasus hukum yang berhubungan dengan musisi? Tidak melulu antara musisi dan label, tapi mungkin juga antara musisi dan musisi, atau musisi dan fans. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan kehidupan di depan. Ketika musisi itu baru merintis karir, mungkin tidak pernah terbayang kelak bakal ngetop dan dihadapkan pada persoalan yang sebelumnya tak pernah mereka hadapi. Termasuk persoalan hukum.

Di Indonesia, ketidaktahuan anak-anak band baru itu, sering dimanfaatkan label [atau yang berpura-pura punya label] atau “broker” untuk mengeruk keuntungan.  Band Armada pernah ‘curhat’ tentang bagaimana mereka “stress ketika digugat oleh salah satu production –yang konon mengorbitkan mereka—ketika masih bernama Kertas Band. Tidak tanggung-tanggung, band ini digugat sebesar 2 milyar! Angka yang bikin ‘mati berdiri’ apalagi untuk band yang sedang merintis karir dari daerah.

Contoh lainnya, adalah Lyla. Band ini sempat kebat-kebit ketika digugat 2 miliar oleh seseorang yang bernama Bob Surya Syahputra. Menurut kabar yang beredar, Bob adalah orang telah memproduseri dua orang personel Lyla band saat bergabung di sebuah band yang diberi nama New Sign. Bob merasa dua personel Lyla telah menyalahi aturan kontrak kerja dengannya dengan bergabung di Lyla. Dia pun melayangkan gugatan dan menuntut band yang beranggotakan lima orang tersebut sebesar Rp 2 miliar.

Atau kalau kita ambil contoh kasus di luar Indonesia.  Kasus ini terjadi antara Kassbaum vs Steppenwolf Productions, INC dapat menggambarkan pentingnya payung hukum dan pemahamannya bagi sebuah grup band. Nicholas Kassbaum adalah mantan pemain bass grup band Steppenwolf. Band ini adalah grup band rock yang dibentuk pada tahun 1967 oleh Jhon Kay, Jerry Edmonton, Michael Monarch dan Goldie McJohn. Sementara Kassbaum bergabung setahun setelah grup band dibentuk.

Pada tahun itu pula baru dibuat ”Perjanjian Kerjasama” [partnership agreement] yang menyatakan masing-masing anggota grup band memiliki kedudukan dan kepemilikan yang sama atas Steppenwolf. Steppenwolf makin dikenal dengan berbagai macam tawaran kontrak rekaman maupun konser. Kemampuan Kassabaum memberikan karakteristik tersendiri pada setiap penampilan Steppenwolf.

Pada 1971, Kassabaum keluar dari grup band dan salah seorang pendiri, Jhon Kay, menyatakan Steppenwolf bubar. Namun, pada 1975 Kassabaum dan Goldie McJohn membentuk grup band baru dengan nama ”The New Steppenwolf”. Penggunaan nama baru itu menuai masalah karena dianggap memanfaatkan popularitas nama Steppenwolf sebelumnya. Akhirnya Kassabaum harus membayar $ 17.500,00 kepada Jhon Kay dan Steppenwolf Productions, INC untuk memperoleh hak ekslusif [exclusive right] menggunakan nama tersebut.

Atau cerita dibalik hengkangnya Seno [drum] dan Indra [bass] sebagai personil radja. Tak banyak yang tahu, kalau dua musisi ini –kabarnya—adalah ‘personil kontrak’ saja. Meski sampai sekarang, baik Moldy dan Ian Kasela berkilah karena ada perbedaan visi, Seno dan Indra juga mengiyakan, sebenarya yang terjadi karena kontrak mereka sudah diputus. Ian dan Moldy sebagai pemilik ­brand radja-lah yang memutuskan kontrak itu.

Kalau benar Seno dan Indra adalah pemain yang dikontrak, maka pasti ada perjanjian tertulis soal hak dan tanggung jawab, termasuk penjelasan tentang pembagian honorarium. Bahwa honor mereka   sama besar atau lebih kebil dari si pengontrak mereka [dalam hal ini pengontrak adalah Ian Kasela dan Moldy] maka, pihak Seno dan Indra harus patuh pada kontrak kerja yang telah disepakati.  Dan karena mereka adalah  yang terkontrak maka biasanya  mereka tidak berhak atas persetujuan visi dan misi. Malah Seno dan Indra-lah yang harus bekerja berdasarkan visi dan misi pengontrak, suka tidak suka.

Realitas di atas setidaknya memberikan sinyal penting bagi anggota grup band pemula untuk mempersiapkan perjanjian band [band agreement] secara komprehensif atau mungkin bagi grup band yang sudah berkarir lama untuk me-review perjanjian dasar grup band ini guna mengantisipasi munculnya berbagai persoalan hukum ke depan.

Dalam sebuah obrolan dengan seorang jurnalis senior, pernah terlontar kisah ‘personil kontrak’ ini.  Kasus itu terjadi ketika gitaris Yngwie Malmsteen konser di Indonesia, beberapa tahun silam. Ketika itu, Ygnwie sempat rebut dengan vokalisnya, Mark Boal.  Ketika ribut itulah, terkuak satu fakta saat Yngwie mengancam  sang vokalis, akan memutuskan kontrak dan Yngwie akan membayar semua kewajibannya malam itu juga.

Yang kita simak adalah, betapa tegasnya bahasa kontrak para musisi mancanegara itu. Sementara di Indonesia, hampir 90 % problem yang terjadi dalam keutuhan sebuah group adalah karena ketidakjelasan  kontrak kerjasama itu. Kasihan bukan?

Yang paling gres adalah perseteruan solois muda, Afgan dengan label lamanya, Wanna B. Ia dilaporkan ke Polres Jakarta Selatan, dengan pasal 378 KUHP atas tuduhan dugaan penipuan oleh Wanna B. Afgan dianggap tidak menyelesaikan kerjasamanya dengan Wanna Be dan pindah ke label Trinity Optima. Akibat tudingan tersebut, Afgan diancam hukuman penjara selama 4 tahun. Menurut pihak Wanna Be, mereka dirugikan sampai 500 juta karena wanprestasi yang dilakukan Afgan.

Mungkin yang paling menguras tenaga, biaya dan pikiran adalah kasus hukum antara musisi Ahmad Dhani dengan Aquarius. Perseteruan antara Dhani dengan label rekaman Aquarius adalah soal pelanggaran kontrak dan mulai berhembus pada sekitar bulan April tahun 2007 lalu. Setelah tiga kali somasi yang dilayangkan pada Dhani diabaikan begitu saja, pihak Aquarius akhirnya mengajukan gugatan pada Dhani.

Menurut pengacara pihak Aquarius, Paulus Sukran, SH, sesuai dengan kontrak yang disepakati bersama, Dhani mestinya masih berhutang 4 lagu dengan pihak pihak Aquarius, setelah kontrak album ke-7,  Laskar Cinta.

Namun, hingga sebelum akhirnya dilayangkan somasi, Dhani tak juga memenuhi kesepakatan dalam kontrak tersebut. Padahal Aquarius sudah membayar 200 juta dan telah diambil pentolan grup Dewa 19 itu pada 1 Juni 2005 lalu. Tapi kenyataanya, Dhani malah mengeluarkan dua album baru dengan pihak EMI, yaitu Republik Cinta dan Kerajaan Cinta. Nah lo?

ALASAN #3 – POPULARITAS ITU MENJATUHKAN

Banyak hal yang membuat kita menyarankan jangan mau jadi anak band kalau memang belum siap. Beberapa hal lain yang mungkin membuat kamu akan berpikir ulang, adalah pernyataan pesimisme, hidup adalah ‘kekalahan’ itu sendiri –begitu kata Arthur Schopenhauer. Untuk filsuf yang menggemakan pesimisme hidup manusia itu, kehidupan tidak berjalan atas dasar rasionalisme. Kehidupan, menurutnya, berkembang di atas rel “kehendak buta” dan “ketidaksadaran”.

Musisi tentu saja bukan area pesimisme seperti Schopenhauer. Mereka –para musisi itu—adalah bagian dari sebuah ketelanjangan dengan optimisme yang mereka saratkan dalam karyanya.  Kalau bicara musik, tentu saja itu bicara lagu dan musikalitas secara utuh.

Banyak musisi yang hanya belajar dari musisi lain yang diidolainya, tapi tak pernah belajar bagaimana idolanya itu bisa meraup sukses. Coba kita tanya kepada filsuf lain bernama Max Horkheimer. Dimatanya, pesimisme tadi menjadi lain. Horkheimer memang seorang marxis—dan Marx harus kita lihat sebagai orang yang optimis terhadap dialektika sejarah—tapi dia tak pernah benar-benar melupakan Schopenhauer. Dan Horkheimer akhirnya seperti mementahkan pesimisme sebelumnya.

Agak dilematis untuk musisi yang egois dan merasa kekaryaannya adalah hasil jerih payah dirinya sendiri, yang harus disimpan dan tak boleh dibagikan. Kemampuan itu adalah kekuatannya untuk bertahan dan mempertahankan diri dari libasan industrial yang mungkin menerjangnya. No sharing, no sparring. Tapi tentu saja tak bisa berjalan sendiri. Ada banyak elemen yag terlibat didalamnya. Ini industri bung!

Jadi anak band itu juga berada di tembok tipis antara popularitas dan kenistaan. Ketika kehormatan bersumber dari atribut dan keterkenalan, maka distansi antara kemuliaaan dengan kehinaan, hanya terpisahkan oleh selapis tabir yang teramat tipis. Kehormatan diri, hanya berjarak selangkah dengan kenistaan.

Mengapa jubah jabatan yang megah itu harus diperlakukan sehina tisu di tempat pembuangan? Bukankah seseorang yang sekerdil apapun, segera terangkat naik, saat menyandang seperangkat pakaian kebesaran dan popularitas? Kebodohan apa yang menggerakkan seseorang untuk mendustakan pengaruh sepotong jubah yang sarat dengan kilau kemegahan?

Tapi sangat banyak mereka yang percaya, bahwa kehormatan seseorang memang lebih terletak di atribut yang menutup tubuhnya, ketimbang di dalam tubuh yang ditutup atribut kemegahannya. Karena itu, saat kehilangan keterkenalan dan popularitas, seseorang bisa langsung dipandang telah kehilangan kemilau kemuliaan dan harga dirinya.

Siapapun yang berpikir bahwa dirinya masih terkanal dan popular dalam semua aspek, sesungguhnya masih tetap percaya, bahwa nilai diri seseorang ditentukan oleh pangkat, harta dan kedudukan. Karena itu, agar diri bisa lebih tampil di permukaan, maka pemburuan terhadap harta dan keterkenalan, menjadi kisah yang seolah tak pernah berpenghabisan. Orang-orang yang seperti ini menurut Napoleon Bonaparte, tanpa sadar telah meletakkan kemuliaan dirinya, hanya berjarak selangkah dengan kenistaannya.

Masih mau jadi anak band?

Sumber: AirPutihku

cek band/ daerahmu disini:

bali, bandung, bogor, bojonegoro, depok, jakarta, jember, kudus, lumajang, makassar, malang, pamekasan, probolinggo, purwokerto, semarang, situbondo, sumenep, surabaya, tangerang, dll.
supported by deditsabit