mau band kamu ada disini? atau lagumu dishare disini? GRATIS....!!! buat anak band yang dah punya lagu sendiri n pengen dishare ke temen-temen laen, disini tempatnya...

ikuti aturan mainnya:
1. kirimkan lagu jadi dengan audio mixing yang normal dilengkapi dengan profil band via email ke: deditsabit@gmail.com
2. beri judul emailnya dengan nama "BAND"
3. konfirmasikan pengiriman via chatbox yang tersedia di sebelah kiri
4. ditunggu hingga proses penyuntingan selesai untuk diluncurkan...

jika ada perubahan dengan lagu, data atau lagunya tidak ingin dipublikasikan di blog ini lagi, segera hubungi admin, atas kerjasamanya kami sampaikan terima kasih dan salam tiga jari untuk mengharumkan citra musik Indonesia...

Photobucket

Post

Bangganya Jadi ‘Bintang Palsu’



Oleh: Djoko Moernantyo

KAMU seorang yang menguasai alat musik? Siapa idolamu? Steve Vai? Bon Jovi? Flea? Atau Mike Portnoy? Ketika belajar musik, ingin menjadi siapakah dirimu? Salah satu dari mereka, dengan kedahsyatan musikalnya yang tak tertandingi itu? Semua teknik yang mereka kuasai, akhirnya kamu kuasai juga. Padahal itu teknik susah yang hanya bisa dipelajari oleh segelintir orang misalnya. Hebatkah dirimu?

Saya harus katakan, tidak! Ketika bangga menjadi seperti Steve Vai, Gilang Ramadhan, Flea atau Mike Portnoy, kamu sebenarnya adalah manusia palsu. Mengapa? Karena kamu hebat menjadi copycat, kamu menjadi “dia” dan hasilnya adalah kamu akan terus menjadi pecundang, bukan pemenang. Di sekelilingmu, memang terlihat hebat dan dipuji-puji. Kemudian disebut “Steve Vai Wanna Be” – dan lucunya, kok bangga.
Dalam sebuah obrolan santai dengan seorang drummer kondang di Jakarta, keheranan itu muncul. Mengapa banyak anak band sekarang begitu antusias dan happy disamakan dengan musisi lain. Drummer yang kerap memberi coaching clinic di Amerika Serikat ini, bercerita bagaimana musisi asing hanya tersenyum ketika melihat musisi lokal yang jago secara skill, tapi nyaris tidak terkagum. “Karena mereka melihat, musisi itu hanya jadi copycat mereka,” ujarnya. Dengan kata lain, mereka palsu.

Seorang drummer jazz di Amerika pernah mengatakan, “jadilah dirimu dan kembalilah ke akarmu.” Esensi pernyataan itu sebenarnya simpel, ciptakan dirimu sebagai dirimu. Kembalilah ke akar budayamu. Yang Afrika, galilah rhythm-rhythm Afrika. Yang Indonesia, ciptakanlah bebunyian yang berciri Indonesia. Susah? Tidak, persoalannya mau atau tidak.
Akhirnya, saya menemukan seorang musisi yang mengudap menu lokal sebagai kekuatan musikalnya. Dia mengadopsi ketukan-ketukan lokal yang pastinya familiar, dimodernisasi dan dijadikan ciri musik yang sagat Indonesia. Menariknya, ketukan-ketukan itu adalah rangkuman dari beberapa alat musik rancak yang ada Indonesia. Seperti tifa dari Papua, kenong dari Jawa, dan beberapa alat musik lain yang bertebaran di seluruh Indonesia.

Mimpinya adalah, kelak ketika bicara soal ‘Musik Sawah’ – begitu dia menyebutnya—semua musisi dari seluruh dunia harus ke Indonesia. “Karena tidak ada di negara lain,” jaminnya. Dia menganalogikan, ketika bicara reggae orang selalu menoleh ke Jamaica. “Kenapa tidak, sekarang orang menoleh ke Indonesia,” tanyanya retoris.

Saya tertawa geli, ketika mengingat banyak musisi yang bangga dijadikan “musisi lain” itu. Maaf, saya menyebutnya bintang palsu…
Sumber: AirPutihku

cek band/ daerahmu disini:

bali, bandung, bogor, bojonegoro, depok, jakarta, jember, kudus, lumajang, makassar, malang, pamekasan, probolinggo, purwokerto, semarang, situbondo, sumenep, surabaya, tangerang, dll.
supported by deditsabit