mau band kamu ada disini? atau lagumu dishare disini? GRATIS....!!! buat anak band yang dah punya lagu sendiri n pengen dishare ke temen-temen laen, disini tempatnya...

ikuti aturan mainnya:
1. kirimkan lagu jadi dengan audio mixing yang normal dilengkapi dengan profil band via email ke: deditsabit@gmail.com
2. beri judul emailnya dengan nama "BAND"
3. konfirmasikan pengiriman via chatbox yang tersedia di sebelah kiri
4. ditunggu hingga proses penyuntingan selesai untuk diluncurkan...

jika ada perubahan dengan lagu, data atau lagunya tidak ingin dipublikasikan di blog ini lagi, segera hubungi admin, atas kerjasamanya kami sampaikan terima kasih dan salam tiga jari untuk mengharumkan citra musik Indonesia...

Photobucket

Post

Endank Soekamti: Kisah Egaliter “nabi”-nya Kamties

Oleh: Djoko Moernantyo

AWALNYA, tulisan ini ingin “menjilat” dengan memberi pujian.  Kenapa? Karena saya malas mengkritik atau mengkritisi. Tudingan wartawan atau penulis yang terlalu sering memberi catatan kritis , membuat saya saya terbeban saat harus memberi pujian. Tapi berdialog –meski informal—dengan Erix Soekamti, Dory Soekamti dan Ary Soekamti, memberi sudut pandang yang unik dan menarik, tentang sebuah realita budaya, sosial,  dan juga ekonomi. Dan itu lahir dari garis bawah band bernama Endank Soekamti.

Semestinya sekali lagi, semestinya perkembangan identitas band bernama Endank Soekamti ini membikin kita dan masyarakat musikal, bukan hanya fans, lebih sehat. Bukankah masyarakat yang hidup di tengah keragaman pilihan akan jauh lebih sehat secara sosial ketimbang mereka yang hidup di tengah pemasungan dan keterbatasan (apalagi ketiadaan) pilihan?

Band ini memulai sebuah perjalanan dengan satu perkara, identitas. Awalnya, tentu saja tidak semudah membalik tangan dan kemudian bermimpi mencapai seperti saat ini. Tidak besar, tidak kecil, tapi punya massa loyal dan fanatic. SECARA TEORITIS, menjadi musisi dan komposer andal adalah sebuah perjalanan panjang yang tidak diraih dengan sepele. Banyak yang lahir dari pola pendidikan akademis yang notabene linier. Tapi tidak sedikit yang besar karena “kecelakaan” bernama otodidak.  Cara apapun yang ditempuh, akan “membesar” ketika si empunya talenta itu mau mengembangkan diri dengan maksimal. Tidak pernah puas dengan pencapaiannya.

Saya mencermait gejala “kepuasan yang menghambat” ini begitu kuat dilakukan oleh banyak musisi atau composer. Indikasinya sederhana, ketika mencapai titik popularitas tertentu, banyak musisi yang merasa “itulah” puncaknya. Kemudian tidak punya elemen-elemen lain yang membuatnya mengembangkan diri supaya bisa benar-benar bertahan lama di industri yang memang tidak selamanya ramah ini.

Saya memang bukan musisi atau composer, hanya penulis yang mencatat bagaimana musisi dan composer itu berproses menjadikan talentanya sebagai kekuatan untuk bertahan. Saya hanya bergaul dengan musisi yang sempat bercerita, curhat atau ngobrol iseng tentang apapun yang berbau musik.

Dan inilah “teori” saya tentang bagaiman seorang musisi seharusnya menjadi musisi. Musisi bukan ‘lintah’ yang menyedot darah, kemudian mati kekenyangan. Musisi buat saya adalah pendaki, yang harus selalu berlatih keras untuk menaklukkan gunung-gunung yang tertinggi. Kalau ada yang puas karena sudah mencapai satu puncak, dia “hanya” akan tercatat di buku sejarah sebagai noktah kecil saja.

Untuk menjadi seorang musisi dan komposer yang baik, kamu perlu bekerja keras untuk jangka waktu yang panjang, dan kamu harus terus-menerus menantang diri untuk selalu memberikan karya yang baik. Kerja keras mungkin bukan satu-satunya faktor yang mengarah untuk menjadi musisi dan composer yang baik, tapi saya yakin itu adalah bahan yang paling penting.

Kembali ke Endank Soekamti. Mungkin banyak band-band lain yang punya kisah serupa dengan band asal Jogjakarta ini. Tapi mengapa saya mengangkat band ini? ES adalah implementasi dari sebuah pergerakan musisi kelas bawah, yang merangkak naik dan akhirnya sampai di atas meski dengan tertatih.

Yang menarik dari band bernama Endank Soekamti ini adalah, saya pernah menuliskan, industri musik itu seperti ‘predator pemangsa’—setiap hari menerima peminatnya yang berlimpah, tapi setiap hari pula meludahkan mereka yang tidak tahan dan kurang bekerjakeras.  Tapi jangan salah, bahkan yang dilepeh pun, masih bisa jadi emas. Banyak cerita band atau penyanyi yang ditolak di satu label, ternyata malah sukses di label lain. Kemauan untuk majunya, harus lebih kuat dibanding perasaan selalu jadi korban itu. Hanya yang tahan mental, open mind, dan terus belajar melihat kekurangan dan kelebihannya [biasanya, hanya pamer kelebihan] yang akan bertahan lama. Dan sampai saat ini, band ini masih tetap bisa melihat perbedaan bukan sebagai musuh.

Ngobrol dengan Endank Soekamti, seperrti ngobrol dengan kawan lama yang tetap mengerti kita, bahkan ketika tidak bertemu lama. Entah sampai kapan, tapi saya berharap Endank Soekamti tetap jadi band yang egaliter.  Mereka punya fans gila-gilaan yang fanatic. Kesempatan ini harus bisa jadi pembelajaran untuk melakukan banyak hal positif. Dan Endank Soekamti punya kemampuan untuk itu. Kemampuan yang jarang dimilik band-band lain di Indonesia.


Sumber: AirPutihku

cek band/ daerahmu disini:

bali, bandung, bogor, bojonegoro, depok, jakarta, jember, kudus, lumajang, makassar, malang, pamekasan, probolinggo, purwokerto, semarang, situbondo, sumenep, surabaya, tangerang, dll.
supported by deditsabit