mau band kamu ada disini? atau lagumu dishare disini? GRATIS....!!! buat anak band yang dah punya lagu sendiri n pengen dishare ke temen-temen laen, disini tempatnya...

ikuti aturan mainnya:
1. kirimkan lagu jadi dengan audio mixing yang normal dilengkapi dengan profil band via email ke: deditsabit@gmail.com
2. beri judul emailnya dengan nama "BAND"
3. konfirmasikan pengiriman via chatbox yang tersedia di sebelah kiri
4. ditunggu hingga proses penyuntingan selesai untuk diluncurkan...

jika ada perubahan dengan lagu, data atau lagunya tidak ingin dipublikasikan di blog ini lagi, segera hubungi admin, atas kerjasamanya kami sampaikan terima kasih dan salam tiga jari untuk mengharumkan citra musik Indonesia...

Photobucket

Post

Falsafah ‘URIP-URUP’ Untuk Musisi Indonesia

Oleh: Djoko Moernantyo


DALAM banyak filosofi, apapun kepercayaan dan keyakinannya, hidup itu harus [kudu dan wajib] menjadi terang. Kalau hidup berkutat dengan kepusingan akan dunia di luar sana, yang ada bukan menjadi terang, tapi justru “pemadam ke-terang-an” itu. Dalam dialektika kebijaksanaan Jawa, ada istilah Urip Urup. Apa itu? Urip itu artinya hidup, dan Urup itu  artinya menyala atau kita maknai terang.

Dalam konteks industri musik Indonesia, musisi harus menjadi Urup bagi banyak pemuja dan sekelilingnya. Tapi kondisi itu tampaknya tak terlalu banyak mengubah apapun, lantaran terlalu berat memikirkan Urip.  Demi Urip yang harus tampak secara material, immaterial-nya malah terabaikan.

Demi seonggok popularitas, musisi yang baru ngetop, sedang ngetop dan berharap ngetop, membeli “tangga naik” yang dapat dijadikan pijakan ke atas berupa kehidupan bermerek dengan harga yang mahal.  Glamor membuat mereka –musisi keblinger itu— kehilangan Urip. Seolah dengan asesoris berkelas itu, lalu merasa sudah menjadi bagian dari strata atas.

Musisi yang terjebak ke wilayah ini tidak sadar bahwa dengan menggunakan barang-barang mahal seakan dirinya menjadi ikut naik kualitas pribadi dan hidupnya. Padahal yang berharga itu asesorisnya, bukan diri pribadinya. Musisi semacam ini mesti diingatkan dan dikasihani. Mereka terkena krisis kepercayaan diri dan kepribadian.

Tak hanya gaya hidup yang kasat mata, yang tak tampak pun mereka ubah, supaya lebih bisa diterima. Kalau menambah kemampuan muskalitas dan kepintaran diri sih, wajar-wajar saja, tapi kalau hanya memuaskan ‘ego’ itu namanya pembodohan diri sendiri. Kalau tidak berada di area yang dipandang orang dengan semua atribut ‘kehebatan’ dan ‘kesuksesannya’ itu, seolah menjadi penderita kusta yang harus diisolasi dari dunia luar.

Lalu sengkarut musisi yang hedonis itu, sepertinya justru menunjukkan ‘ketakutan’ untuk menjadi pribadi yang apa adanya. Perbaikan kualitas diri itu, bukan pada yang kasat mata semata, tapi pada Urup -nya diri.  Mungkin akan menjadi aneh, diabaikan, disingkirkan atau dikucilkan. Takut? Bukankah, Urup itu tidak harus nyaman?  Persoalan-persoalan dalam kehidupan, bukan penghambat, tapi justru menjadi keutamaan untuk menjadi Urup tadi.

Saya ingin menyitir ungkapan politisi Korea Utara, Kim Yong Nam, “Kami bakal ubah kesedihan menjadi seribu kali lipat kekuatan dan keberanian, sehingga bisa mengatasi kesulitan.” Dan itulah kunci Urip [yang] Urup.

Sumber: AirPutihku

cek band/ daerahmu disini:

bali, bandung, bogor, bojonegoro, depok, jakarta, jember, kudus, lumajang, makassar, malang, pamekasan, probolinggo, purwokerto, semarang, situbondo, sumenep, surabaya, tangerang, dll.
supported by deditsabit