mau band kamu ada disini? atau lagumu dishare disini? GRATIS....!!! buat anak band yang dah punya lagu sendiri n pengen dishare ke temen-temen laen, disini tempatnya...

ikuti aturan mainnya:
1. kirimkan lagu jadi dengan audio mixing yang normal dilengkapi dengan profil band via email ke: deditsabit@gmail.com
2. beri judul emailnya dengan nama "BAND"
3. konfirmasikan pengiriman via chatbox yang tersedia di sebelah kiri
4. ditunggu hingga proses penyuntingan selesai untuk diluncurkan...

jika ada perubahan dengan lagu, data atau lagunya tidak ingin dipublikasikan di blog ini lagi, segera hubungi admin, atas kerjasamanya kami sampaikan terima kasih dan salam tiga jari untuk mengharumkan citra musik Indonesia...

Photobucket

Post

Budaya Jalanan a.k.a Street Culture — di Indonesia: Eksistensi, Resistensi atau Basa-Basi Mati

TIDAK MUDAH menemukan benang merah sejarah sub-culture di Indonesia. Persoalannya bukan karena tidak ada narasumber yang paham, tapi lebih kepada pendokumentasian yang tidak rapi. Alhasil,  seperti mencari jarum di tumpukan jerami.  Tidak ada data yang tersimpan rapi, narasumber pun ternyata tak semuanya punya bahan tertulis.

Ada beberapa bagian dari sub-culture yang secara historis, sebenarnya punya perjalanan yang linier.  Naik turun memang, tapi secara eksistensi, mereka eksis. Menjadi menarik mencermatinya, karena di Indonesia, mereka seperti  manusia-manusia “berbeda” meski sejatinya, mereka ikut mewarnai pernak-pernik Indonesia yang heterogren.

GRAFFITI/ART

Konon, graffiti di Indonesia, dimulai dari keisengan anak-anak sekolah di JIS (Jakarta International School) di bilangan Pondok Indah Jakarta Selatan. Mereka memilih mencorat-coret tembok sekolahnya dengan gambar-gambar sekehendak mereka. Meski tidak ada bukti tertulis, tapi karya anak-anak JIS sampai saat ini masih bisa dilihat di dekat lokasi sekolahnya.

Bicara soal graffiti, kita tentu bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya graffiti itu dimulai. Maklum saja, di Indonesia, kegiatan corat-coret ini karang-kadang masih dianggap sebagai “keisengan”  yang tidak  gunanya. Benarkah?

Dari beberapa literatur dan data yang berhasil penulis kumpulkan, Grafitti (di dunia) punya sejarah panjang. Tak sekedar urusan corat-coret memang. Bagi para artis graffiti, sejarah yang mereka punya, dirasakan cukup membanggakan.  Subculture yang ada di sekitar grafitti, bisa bertahan dan eksis sampai beberapa decade dan masih terus bertahan dengan kuat. Para pelaku grafitti [atau mereka lebih suka disebut sebagai “penulis”] adalah orang-orang yang bergairah untuk berkarya, punya skill, berorientasi pada komunitas dan sadar akan apa yang mereka lakukan.  Mereka –para penulis itu— tahu bahwa apa yang mereka lakukan akan menimbulkan kontradiksi atau pertentangan. Maklum saja, tidak sedikit yang menyebut mereka sebagai kriminal atau vandalis.

Percaya atau tidak, sejarah grafitti ternyata sudah terbentang sejak jaman Roma kuno. Para artis graffiti pertama jaman Roma itu, ketika itu menggambar tembok-tembok di sekitar kota. Mungkin, ada beberapa peninggalan graffiti era Roma yang bisa kita lihat seandainya kita berkunjung kesana.

Tapi kalau bicara graffiti sebagai satu urban style seperti yang kita kenal sekarang ini, sejarahnya baru dimulai di New York akhir tahun 60-an. Graffiti lahir di jalur kereta subway. Kok?

Pertama-tama, penulis graffiti mencoba membuat lambang [atau tandatangan] yang lebih stylish dibanding orang lain. Ini sudah masuk persaingan antara penulis graffiti. Lama-lama kelamaan mereka akan menambahkan banyak warna, special effect, kemudian mereka berusaha membuat nama mereka sebagai artis grafitti itu menjadi besar dan dikenal. Kini kita bisa melihat graffiti itu berkembang sebagai karya seni yang makin punya teknik dan kata-kata yang makin kaya. Grafitti menjadi satu art yang punya lompatan tanpa batas.

Dengan tingkat security yang makin ketat di tahun 80-an, subway grafitti pelan-pelan mulai “mati” meski tidak mati dalam arti sebenarnya. Tahun 1989, kereta terakhir dengan seabrek tanda grafitti diambil dari jalurnya. Mau tak mau, itulah era terakhir dari subway grafitti.  Jika menikmati perjalanan di subways tahun 2003, kita tidak akan menemukan sisa-sisa grafitti di luar kereta. Tapi jangan salah, grafitti tetap hidup hanya mediumnya yang berpindah. Mereka mulai “mengebom” tembok-tembok di kota dan banyak tempat lain yang bisa mereka pakai untuk mengekspresikan diri.

Perkembangan lainnya, para era ini, grafitti juga mulai dipakai untuk kepentingan komersial dan dipakai mencari uang. Grafitti juga menjadi insipirasi art designer untuk memindahkan gaya mereka dalam bentuk lain seperti stiker, kover CD atau kaos-kaos, dan poster.

Grafitti sekarang juga identik dengan musik hip-hop. Kalau kita perhatikan dalam video-video klip ditelevisi, di latar belakang tampak para penulis graffiti juga sedang bekerja. Graffiti adalah satu dari empat element hip-hip [selain MC-ing, DJ-ing, dan B-Boying]. Awal graffiti adalah alat untuk berekspresi dimulai dari Bronx, salah satu kota “hitam” di Amerika Serikat dan kemudian menyebar ke seluruh dunia. Grafitti merepresentasikan sisi visual, Emceeing dan DJ adalah yang memproduksi musik, dan B-Boying bagian dari dance-nya. Dalam pesta-pesta hiphop, kita mungkin akan menyaksikan, penulis graffiti sibuk mencorat-coret tembok, sementara DJ melakukan spins dan scratch vinyl, sementara MC mengatur crowd, dan B-Boying biasanya melakukan “perang” dengan kelompok dancer lain.

Bagaimana di Indonesia? Menurut Darbotz, salah seorang ‘street artist’ Indoneia (begitu dia menyebut dirinya), street culture khususnya graffiti di Indonesia tergolong cukup besar untuk ukuran Asia. “Banyak negara lain yang iri dengan perkembangan graffiti di negara kita,” terang cowok bernama asli Darma Adhitia ketika diwawancara.  Padahal –masih menurut Darbotz—menyebut komunitas graffiti di Indonesia, sebenarnya tidaklah terlalu besar seperti yang dibayangkan.  “Kita memang masih berjuang untuk menjadikan graffiti sebagai bagian dari eksitensi kesenian di Indonesia,” terang Darbotz yang juga pekerja di salah satu advertising besar di Jakarta.

Darbotz adalah salah satu street artist yang kemudian bersama beberapa orang teman-temannya membantuk satu komunitas Tembok Bomber.  Dari mereka yang tergabung di komunitas tersebut, menurut Darbotz, tidak ada yang punya ciri sama. “Semua punya ciri yang berbeda-beda,” terang Darbotz. Pria bercambang ini sendiri punya ciri khas ornamen cumi-cumi dalam setiap karyanya. “Saya ingin menggambarkan keruwetan Jakarta dengan cumi-cumi.  Selain itu,  saya ingin setiap melihat cumi-cumi, orang tahu bahwa itu karya saya,” tegas cowok yang memilh medium areosol sebagai saluran berekspresi. “Saya sudah tidak main lagi di tembok jalanan,” akunya.

Menurut Darbotz, keinginan para street artist itu adalah ‘lingkungan’ yang tidak terlalu ketat seperti di Amerika Serikat. “Kita sih maunya seperti di Barcelona Spanyol, tidak ketat,” tambahnya. Di Indonesia sendiri, menruut Darbotz tergolong masih ringan. “Paling-paling kita diminta ngebersihin tembok atau dinding yang kita gambar,” jelasnya sembari berharap situasi seperti sekarang tidak menjadi lebih buruk.

=========================================

ATTITUDE

DULU, tahun 80-an, kita mengenal ada breakdance. Era itu, diIndonesiakan dengan tari kejang.  Selain karena tariannya seperti orang kejang, breakdance juga sering disebut dengan tari patah-patah. Dalam sejarahnya, tarian ini masuk ke Indonesia baru tahun 80-an.  “ketika itu hanya ada satu nama komunitas breakers yang dikenal, yaitu Jakarta Break’in dengan pentolannya bernama Deny,” jelas Allan Satria, breakers dari Pamulang Trykers yang juga terlibat dalam beberapa klip artis seperti Saykoji.

Menarik sebenarnya menjelajah sejarah breakers di Indonesia. Tahun 80-an itu, breakdance banyak menuai kontroversi. Ketika itu, tarian ini dianggap bukan bagian dari budaya ketimuran kita.  Nyaris semua orang yang merasa berkepentingan dengan budaya, bicara. Tapi uniknya, sempat ada kejuaraan nasional breakdance di Senayan yang dihadiri oleh Mepora waktu itu, Abdul Gafur. Jadi seperti ambigu saja.

Sejarah breakdance sendiri cukup  unik. Sebelum disebut breakdance, tarian ini disebut dengan Bboying.  Bboying adalah sebuah bentuk tarian Hip-hop dimana sekarang dikenal sebagai “Breakdance”, terdiri dari Top Rock / Up Rock, Foot work, Spinning Moves (power moves) dan Freeze.  Bboying datang dari Bronx New York City America.  Tidak salah memang menyebut tarian ini kental dengan daerah hitam juga.

Sebutan Bboying pertama kali diucapkan oleh Kool DJ Herc, seorang DJ di Bronx pada era akhir tahun 60-an. Bboys artinya “Break Boys”. Disebut “Break Boys” karena mereka menari saat bagian musik turun dimana musik hanya ada ketukan drum atau dikenal dengan istilah break part of music. Akhirnya Break part di “Looping” oleh DJ maka lahirlah “Break Beats.” Good Foot sebuah tarian yang dilakukan The Nicholas Brothers, atau salah satu personilnya yang terkenal yaitu James Brown.

Akhir tahun 70-an, tarian ini mulai surut pamornya. Hanya dilakukan oleh oleh remaja-remaja berkulit hitam saja. Baru mulai masuk era 80-an, tarian ini trangkat lagi karena invasi remaja dari Puerto Rico yang mengkombinasikan tarian ini dengan  gerakan acrobat dan gymnastic. Tarian ini menjadi lebih aktif dan dinamis, tapi tetap berpijak pada akar style.  Kemudian tarian ini mulai diendus oleh produser fillm. Salah satu yang cukup meledak adalah Flashdance dengan bintangnya Jennifear Beals. Walaupun Flash Dance bukan film bboy, namun pengaruhnya cukup besar untuk dunia soal Breakdance. Media sangat mempengaruhi bboying. Krn pengaruh ini bboying terkenal dengan sebutan Breakdance.

Di Indonesia, breakdance sempat “mati suri” pada rentang waktu tahun 1990 – 200an. Sebelum akhirnya awal 2000-an, tarianini bergerak lagi. Salah satu yang membawa era baru breakdance di Indonesia adalah Biyan dan Jacko.  Biyan adalah jebolan Amerika Serikat, terkenal dengan aksi-aksi yang sulit ditiru. Kini Biyan menjadi juri acara dance di salah satu televisi swasta.

“Tingkat persaingan yang dulu dengan sekarang juga berbeda,” terang Allan. Dalam pemahaman Allan, diera 80-an, persaingan antar gank breakers sering berakhir pada adu fisik. “Dulu sempat berantem kalau ketemu dengan kelompok lain,” terang cowok yang masih kuliah di slah satu kampus swasta terkemuka ini.

Meski dalam konteks yang berbeda, persaingan antara kelompok masih berlangusng sampai sekarang. “Semenjak tahun 2000-a, sudah dimulai persaingan itu,” kata Allan lagi.  Tidak jarang, masih menurut Allan, terjadi “pembajakan” personil ke kelompok lain. Meski begitu, untuk Jakarta sendiri sampai saat ini “kekuatan” breakers itu masih dikuasai oleh beberapa kelompok yang sudah eksis cukup lama. “Biasanya kalau ada pertandingan atau battle, pemenangnya sudah ketebak, antara lain Jakarta Break’in, Senayan Breakers, Easy Step, atau  South Gank,” tutur Allan lagi.

Salah satu nama yang kerap jadi perbincangan adalah Wisnu dari Easy Steps.  Selain karena sering diajak manggung bareng beberapa artis, Wisnu juga dikenal sebagai anak kandung paranormal terkenal Mama Lauren.

Menurut Allan, sampai saat ini sudah banyak daerah yang punya komunitas breakers. “Tapi kalau ukurannya nasional, sampai saat ini Bandung masih yang terbesar,” jelasnya, Daerah lain yang cukup potensial adalah Sumatera Barat, Medan, Surabaya, Jakarta dan Bali. ‘Di daerah lain juga ada, seperti Malang atau Semarang, tapi mereka lebih kepada individu-individu,” imbuh Allan.

Sisi positif lain yang berkembang, sekarang ini mulai terbukan sinergi antara komunitas bikers, breakers atau skaters. “Sekarang sering kan ada acara yang melibatkan semua komunitas itu,” tambah Allan lagi.

MUSIK/indiependendent movement

Dalam industri musik, indie label bukan cerita baru. Setidaknya bagi Amerika. Kita bisa menelusurinya ke paro pertama 1920-an saat industri rekaman didominasi Columbia, Edison, Victor, atau ARC. Kala itu, perusahaan-perusahaan kecil muncul menyeimbangkan keadaan. Paramount, Okeh, Vocalion dan Black Patti, adalah beberapa di antaranya.

Sekalipun begitu, perlawanan indie label tak urung membuat banyak raksasa terluka, bahkan sebagian di antaranya tak sanggup lagi bertarung. Edison, misalnya, meninggalkan gelanggang dan berkonsentrasi pada radio. Belum lagi Columbia yang diambil CBS, atau Victor yang dikuasai raksasa baru RCA.  Untuk dua dasawarsa ke depan, terjadi transfer situasi yang menyisakan peluang bagi siapa pun untuk bermain.

Baru pada paro kedua tahun 1940-an, peluang itu kembali menciut seiring kembalinya dominasi para raksasa.  Sdikitnya ada enam raksasa yang saat itu memainkan perannya secara signifikan. Mereka adalah Columbia, Victor, Decca, Capitol, MGM dan Mercury.

Di Indonesia, trend “pemberontakan” itu  sebenarnya cukup lama digaungkan.  “Di Indonesia. Trend indie dibuka oleh PAS Band,” kata David Tandayu dari KripikPeudeus (KP) yang ditemui di salah satu resto kecil di Jakarta.   Sejenak kembali ke belakang, PAS Band PAS tahun 1993 menorehkan sejarah  sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat.

Mastermind  yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya.

Kekuatan indie dalam kacamata David, sebenarnya lebih berkaca pada “ramalan” John Nasbitt dalam bukunya Global Paradoks. “Dalam tulisannya, Naisbitt mengatakan kalau perusahaan-perusahaan besar kelak akan digerogoti oleh perusahaan-perusahaan kecil. Kalau mereka ingin selamat, harus merangkul perusahaan kecil itu,” jelas David yang juga seorang asisten dosen di sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka.

Dalam komunitas indie di Indonesia, Kripik Peudeus termasuk sudah merasakan asam garam pergerakan musikalitasnya. ‘”Tapi kami melihat indie sekarang secara sistem makin rapi,” imbih David yang kerap ditulis dengan Day-Vee, vokalis dalam kelompoknya.

David yang sebelumnya lama berkiblat ke scene hip-hop melihat perkembangan indie label cukup pesat perkembangannya. “Sebenarnya perkembangan masing-masing scene musik itu berbeda-beda,” timpalnya.  Hiphop misalnya. Menurut David, hiphop harua berterimakasih kepada Iwa K, sebagai pembaru hiphop di Indonesia. “Dengar-dengar malah akan ada Tribute to Iwa K,” ucapnya serius.

Dalam kacamata David, yang skripsinya pun bicara soal musik hiphop (“Meyakinkan dosen untuk setuju, sudah perlu perjuangan berat. Padahal musik lain langsung di-acc”), Hiphop jangan pernah memasang jarak dengan genre musik lain. “Menurut saya sih, perlu ada daerah abu-abu yang tidak dibatasi oleh apapun,” ucap cowok yang mulai bertubuh tambun ini kalem.  “Intinya, hiphop jangan pernah membuat pembatasan,” tandasnya.  Sebenarnya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada, termasuk perbedaan idelogi dengan genre lain, membuka diri dengan komunitas lain, menurut David, justrubisa memberi masukan yang berharga untuk komunitas  hip-hop itu sendiri.

Dalam sejarahnya di Indonesia, hiphop mulai berkembang tahun 80-an ketika era breakdance menjamur juga.  “Dulu hiphop itu identik dengan gangster, psitol, kekerasan dan drugs,” terangnya lagi.  Tapi kemudian ketika Tupac Shakur ditembak mati, menurut David, secara pelan-pelan itu menjadi era ‘the end of the gangster.”

Kekuatan indie label menurut David adalah karena kemampuannya membuat opini yang tidak mainstream. “Bayangkan, mereka membuat zine sendiri, menulis apapun termasuk yang provokatif tentang band mereka. Dan itu mereka lakukan terus menerus supaya orang lain tertular virus mereka,’ jelas David.  Menurut David, komunitas hiphop itu besar.

=================================

Dalam spirit yang sama, seorang Wendi Putranto, memilih disebut Wenz Rawk, mengatakan hal yang senada dengan David. Wenz yang lebih benyak berkiprah di area metal underground, punya pandangan yang tidak jauh berbeda dengan David.  “Persoalan penggunaan istilah indie dan underground saja, sudah terjadi perdebatanpanjang,” terang cowok yang kini memlih menjadi manajer band ‘riots’ disco The Upstairs. Menurutnya, Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom `indie’ dan  bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non- mainstream lokal.  Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasik mengenai istilah `indie atau underground’ ini di tanah air.

Sebagian orang memandang istilah `underground’ semakin bisa karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang `sell-out’, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih `elastis’ dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional,  jauh meninggalkan istilah ortodoks `underground’ itu tadi.

Menyimak sejarah indie di Indonesia, kita akan dibawah sejarah panjang perjuangan meletakkan tataran eksis band-band metal yangsudah malang melinag di scene underground Indonesia. Mengutip sejarah yang  Wenz tuturkan, Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy (Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Trencem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten.

Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70-an. “Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir  asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya,” jelas cowok  berkacamata yang juga editor di salah satu majalah musik terkemuka ini.

Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band-band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan  milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane,  Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga  ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah hanya sedikit saja album rekaman yang terlahir dari band-band rock generasi 70-an ini.

“Jakarta dan Bandung masih merupakan sentra dari pergerakan rock underground,” terang Wenz.  Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill,  band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major  label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini.

PUNK

Punk sebagai jenis musik, masuk ke tanah air pada tahun 1980-an, bersamaan dengan kegandrungan anak-anak muda pada grup band politis asal Inggris, Sex Pistol. Awal tahun 1990-an, beberapa anak muda di Bandung kemudian mencoba mengartikulasi budaya impor itu dengan berdandan punk: rambut berdiri  (mohawk) yang dilengkapi berbagai asesoris khasnya.

Agak unik ngobrol dengan komunitas ini. Mereka punya sikap tegas dan berani berbeda secara prinsip.  “Menurut gue, punk itu mengembalikan kontrol atas diri loe sendiri. Do it Yourself dan anti kemapanan,” terang Ika, yang juga kerap disebut Peniti Pink, salah satu anggota komunitas punk di Jakarta.

Dalam kacamata Ika, punk  lebih kepada persoalan melawan, bukan memberontak. “Kami melawan ketidakadilan, melawan dari tekanan, bukan memberontak tapi melawan. Anti kemapanan dalam arti menolak segala sesuatu yang sudah jadi status quo,” tegas cewek yang dikontak via email itu.

Sebagai seorang perempuan, Ika tidak merasakan adanya perbedaan perlakuaan antara punkers cewek dan cowok. “Dalam skala besar, keterwakilan punker cewek memang tidak sebesar yang cowok.  Tapi sekarang sudah lumayan menonjol dan punya pengaruh juga,” tambah Ika.  Menurut Ika yang kerap menulis soal punk dan perempuan, punk mampu melihat perempuan dengan lebih adil dan fair dibanding mainstream.

Soal tudingan komunitas punk banyak mengumbar kata-kata provokatif, Ika menolaknya.  “Tidak juga. Organ-organ politik dan agama di Indonesia, kayaknya malah lebih provokatif deh,” kilahnya.  Tapi Ika tidak menolak jika punk juga menjadi bagian dari gaya hidup. “Punk juga bisa jadi fesyen, musik, atau apapun yang gue rasa punk bisa masuk ke dalamnya,” tandasnya Ika lagi.  Tapi percaya atau tidak, Ika mengaku tidak berharap apa-apa dari scene punk di Indonesia. “Tidak ada yang gue harapkan,” tegasnya.

Perkembangan scene punk –komunitas, gerakan, musik, fanzine, dan lainnya– paling optimal adalah di Bandung, disusul Malang, Yogyakarta, Jabotabek, Semarang, Surabaya, dan Bali. Parameternya adalah kuantitas dan kualitas aktivitas: bermusik, pembuatan fanzine (publikasi internal), movement (gerakan), distro kolektif, hingga pembuatan situs.

Meski demikian, secara keseluruhan, punk di Indonesia termasuk marak. Profane Existence, sebuah fanzine asal Amerika menulis negara dengan perkembangan punk yang menempati peringkat teratas di muka Bumi adalah Indonesia dan Bulgaria. Bahwa ‘Himsa’, band punk asal Amerika sampai dibuat berdecak kagum menyaksikan antusiasme konser punk di Bandung.

Di Inggris dan Amerika –dua negara yang disebut sebagai asal wabah punk, konser punk hanya dihadiri tak lebih seratus orang. Sedangkan di sini, konser punk bisa dihadiri ribuan orang.

Mereka kadang reaktif terhadap publikasi pers karena khawatir diekploitasi. Pers sebagai industri, mereka anggap merupakan salah satu mesin kapitalis. Mereka memilih publikasi kegiatan, konser, hingga diskusi ide-ide lewat fanzine.

Kultur atau Tren?

Bicara street culture kurang afdol rasanya jika ngga membahas soal fashion. Pasalnya, dari cara berbusanalah paling kelihatan kalau demam yang satu ini mulai menggejala. Di tengah tren mode yang standar dan itu-itu aja terasa segar memandang sekelompok orang yang berbusana beda ketimbang pakem biasa. Mata terbelalak dan sesekali komentar berani melawan arus terlontar tatkala melihat cara mereka berbusana.

Sejak kapan sih tren macam begini muncul di masyarakat? Ichwan Thoha, seorang fashion designer memandang fenomena ini dari perspektif sejarah mode. “Berawal dari pemerintahan Raja Louis XIV di abad ke-18. Saat itu kendali atas fashion berada di tangan kaum bangsawan. Makin ke sini di era abad ke-20 kendali itu pindah ke jalanan, dari kelas menengah ke kelas bawah” jelas Ichwan.

Belakangan perkembangan itu kian mengental di berbagai penjuru dunia mulai sekitar tahun 1960-an. Saat itu kaum mahasiswa banyak meneriakkan semangat anti kemapanan. Fenomena inilah yang kemudian menjadi inspirasi dari street culture. Hal ini terasa sangat fenomenal dan inspiratif. Ide desainer untuk terjun dalam bisnis inilah yang dilihatnya fenomenal dan dimanapun gejalanya sangat terasa. Sedangkan inspiratif dapat diartikan bebas, keluar dari kaidah, funky, eclectic, sangat independen.

Tentang patokan busana street culture ini, Ade Muslim desainer produk apparel 347 menyebutkan tidak ada patokan baku untuk street style ini. “Selalu berubah-ubah, kadang gaya pakaian yuppies pun bisa di aplikasikan ke street style fashion.” Yang penting avant garde. Dia bisa murah, bisa mahal. Bisa baru, bisa second. Untuk warna sangat dibebaskan alias tak ada yang baku. Tergantung platform gayanya, apakah punk atau hiphop. Terserah.

Untuk sumber inspirasi Ade menyebutkan cenderung dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang dekat dengan dirinya selama ini, antara lain lingkungan band, skate dan surf culture.

Ada cerita seru di balik kegiatan selancar yang menjadi sumber inspirasi ini. Kebetulan, ketika memulai usahanya di pertengahan 1990-an saat itu negara sedang ketimpa krismon, alhasil harga-hargapun melambung tingi. Ndilalah, tak ada penyuplai lokal untuk produk pakaian surfing. “Karena tidak mampu membeli, kita memutuskan untuk membuatnya sendiri,” lanjut Ade. Gayungpun bersambut, respon pasar baik.

Lain lagi dengan Ichwan. Banyak hal yang bisa menjadi inspirasinya.”Setiap hari keluar rumah apapun bisa menjadi inspirasi,” tuturnya kepada majalah ini. Sebut saja gadget, kendaraan, orang nongkrong di kafe, di bioskop, tempat bilyar. Hal-hal macam itulah yang banyak memberikan ide untuk desain yang dibuatnya.

Co-owner Platinum Models mencontohkan saat nonton voli pantai orang sudah mulai sadar harus memakai kacamata, topi rajut, sandal, celana bermuda. Atau ketika menggunakan gadget, orang sudah mulai sadar busana apa yang pantas dikenakan sebagai padanannya.

Bagaimana dengan mereka yang biasa berpenampilan a la street culture ini sendiri? Mantan vokalis kelompok Goodnite Electric, Rebecca berkomentar “Sebenarnya ngga pernah tahu mengacu kepada siapa cara berbusananya. Pas masih SMA selalu beda penampilannya dengan yang lain… pokoknya asal suka aja.” Walah…

Tetapi kalau diurut-urut sosok siapa sih yang menjadi acuannya tampil seperti sekarang ini, Rebecca membuka rahasia. “Mulai dari Deborah Harry, Axl Rose hingga David Bowie,”cerita cewek ini saat ditelepon. Kok semuanya sosok musisi? “Mungkin karena saya suka musik, jadi selalu melihat dari perkembangan busana dalam musik. Kalau lihat busana dalam film biasanya yang berbau musik, misalnya “Velvet Goldmine”. Namun, sosok Sarah Jessica Parker dalam sitkom “Sex and the City” sesekali juga menjadi acuan buat busananya sehari-hari.

=========================================

Perkembangan Fashion Street Culture

Ranah fesyen negeri ini menjadi kian marak berkat sumbangan ide dari hadirnya fenomena street culture ini. Tengok saja di kota Bandung, tumbuh subur distro-distro yang banyak menjajakan barang-barang dari clothing label lokal, salah satunya adalah 347 itu sendiri. Label lainnya yang belakangan muncul di akhir 1990-an ada Ouval, Airplane, Monik,hingga NoLabel.

Siapa nyana, semangat ini menular kepada banyak anak muda yang mencoba untuk kreatif. Tak heran, industri ini mulai menjadi tren. Sampai-sampai Ade berani mengklaim

Hampir setiap minggu lahir sebuah clothing label baru di Indonesia dan menobatkan Bandung sebagai ibu kota dari independent clothing industry. Meminjam istilah Thomson and Thompson, tepatnya Bandung lautan distro.

Melihat maraknya kehadiran distro ini Ichwan memandang dengan optimis. “Banyaknya distro itu merupakan industri, kita patut bangga dan mensupportnya.” Hanya saja ia juga menyarankan agar masing-masing harus bikin karakter, jangan sampai saling ikut-ikutan latah atau mengekor. Layaknya profesi desainer, anak muda juga kudu punya karakter yang berbeda-beda. “Saya senang kok melihat mereka bisa kreatif,” lanjutnya lagi.

Sedangkan Ade juga berpandangan senada. “Gue ga nyebut ini sebagai sebuah persaingan. Kita sedang membangun sebuah kultur baru. Kita sedang menganyam bersama dan gue membutuhkan semua elemen untuk mewujudkannya.“

Semakin banyak lahir distro dan label, maka semakin pergerakan ini bakal terus mencuat dan menjadi sebuah kultur. Nah pertumbuhan inilah yang harus dijaga, agar jangan sampai terlalu banyak orang yang tidak mengerti ikut di dalamnya. Karena pihak macam beginilah yang justru akan membunuh bisnis dan kultur baru ini.

Pandangan lebih dahsyat juga mengemuka dari bibir Ichwan. Ia justru melihat kehadiran fenomena ini hanya sebagai “fad” atau mode yang kontemporer. Yang macam begini justru tidak untuk jangka panjang dan bakal cepat menghilang. “Hal itu wajar-wajar saja layaknya fashion itui sendiri. Menjadi tren, menghilang dan naik lagi,” tutur stylist yang satu ini.

=====================================

Distro/Clothing Company

Bicara soal distro, sebenarnya tidak bis dipisakan dari lahirnya scene underground yang menjamur di Bandung. Distro menjadi  salah satu “ujung tombak” dari peredaran dan kekuatan indie.

Sayangnya, distro 347 [EAT] yang dirujuk sebagai salah satu pelopor distro di Indonesia, ternyata “menolak” disebut distro.  Kalau dalam kacamata Wenz Rawk, distro pertama adalah milik Richard Mutter, Reverse. Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan.”

Kembali soal distro,  Ade yang dkontak via email, menjelaskan dari awal memang tidak berniat membuat distro.  “Sampai sekarang gue juga tidak mengatakan telah membuat distro. Jaman gue membangun 347 dengan teman-teman gue pertama kali, istilah distro belum lahir, dan sebelumnya gue mau meluruskan lagi, istilah distro itu berasal dari kata distributor, disingkat jadi distro, dan sebagaimana layaknya distributor bisnisnya adalah mendistribusikan dan atau menjual barang dari pihak produsen ke pihak ketiga atau end costumer, bukan mendesign dan memproduksi apparel.”

Menurut Ade, 347 justru menjual barang-barang. “Sebenarnya istilah distro itu lebih cocok dilekatkan kepada toko yang menjual barang-barang dari clothing label seperti 347,” terangnya lagi.

Merunut sejarahnya, istilah distro pertamakali dipakai oleh Harder Distro, mereka mengkolektif merchandise band pada awalnya. Dan setelah itu banyak toko sejenis menggunakan istilah distro. Seiring semakin berkembangnya independent clothing industry di Bandung, semakin banyak orang salah mengartikan distro, dan media, walaupun telah diluruskan beberapa kali, semakin memperkuat kesalahan persepsi orang terhadap istilah distro. “Jadi tolong diluruskan lagi ya soal distro ini,” pinta Ade.

Tentang mengapa terpikir membuat clothing label, Ade mengatakan, “Dulu kepikiran bikin karena kebutuhan pakaian surfing dan skate. Pada saat 347 lahir, negara kita dalam keadaan krisis, harga barang melambung tinggi, karena dollar sangat tinggi. Untuk surfing, tidak ada produk lokal yang menjual pakaian untuk surfing. Jadi memang harus yang impor. Karena tidak mampu membeli, kita memutuskan untuk membuatnya sendiri. Dari situ kita terpikir untuk membuat dan menjualnya kepada teman atau turis yang bertemu kita di spot-spot surfing. Karena responnya sangat baik, maka kita putuskan untuk membuat usaha ini lebih serius. Selain itu, kita jadi menemukan cara untuk mencurahkan hasrat untuk mendesign grafis dan pakaian sendiri,” jelas Ade panjang lebar.

Bagi Ade, sejauh pengamatannya, apa yang dibuatnya juga mengakomodir trend street culture.  “Buat gue, apapun bentuknya street culture adalah sesuatu yang lahir tidak dari sebuah institusi dan muncul begitu saja di pergaulan, dan biasanya avant garde berat,” terangnya.

*Tulisan ini menjadi Laporan Utama Majalah JUICE Tahun 2006]

Sumber: AirPutihku

cek band/ daerahmu disini:

bali, bandung, bogor, bojonegoro, depok, jakarta, jember, kudus, lumajang, makassar, malang, pamekasan, probolinggo, purwokerto, semarang, situbondo, sumenep, surabaya, tangerang, dll.
supported by deditsabit