Cara Cepat ‘Kiamat’ di Industri Musik
INI memang seperti membuka borok atau memecahkan nanah yang mulai membesar. Sakit dan meninggalkan bekas yang tampak jelek. Dan mungkin setelah ini, saya juga akan didamprat oleh siapapun yang merasa terlibat. Saya tidak berpretensi apa-apa ketika menulis ini, selain menyorongkan fakta yang terjadi secara riil. Jangan mendengar kabar-kabur atau desas-desus yang tidak jelas juntrungannya.
Di jagat ini, nyaris semua lini industri ada yang namanya “menerima dan memberi” entah tulus, entah berpamrih. Dalam konteks kekinian, makin sedikit yang memberi dengan tulus dan menerima dengan sukarela. Selalu ada embel-embel dibalik kerjasama yang menguntungkan itu.
Entah mengapa, banyak orang –entah perempuan atau laki-laki—yang punya mimpi menjadi artis, musisi, penyanyi atau apapun yang berhubungan dengan keterkenalan, popularitas dan hedonisme. Tiga hal itu selalu dianggap sebagai pencapaian dari kata “sukses”.
Ini fakta. Saya punya list beberapa penyanyi perempuan yang sejatinya merupakan ‘simpanan’ dari laki-laki beruang. Simpanan disini artinya, perempuan ini dihidupi secara materi, kadang-kadang berlebih, tapi dia harus siap menjadi “kuda pacu” dari pemilik modal itu. Pelecehan? Kalau secara harafiah, seharusnya ini pelecehan terhadap kemanusian. Kekuasaan lalki-laki bisa mensubordinasi perempuan. Tapi sayangnya, banyak yang menerima hal ini sebagai satu hal yang biasa-biasa saja. Agak miris sebenarnya.
Memang, untuk mencapai puncak itu bukan hal yang mudah. Banyak yang menggunakan kerja keras, logika dan semangat untuk maju, selain memang punya talenta untuk berkembang. Tapi tidak sedikit pula yang memilih jalan pintas, dengan alasan-alasan ekonomi yang masuk akal. Salah? Tidak ada yang salah dengan pilihan itu, yang salah adalah keadaan dan realita yang mengedepankan uang sebagai satu-satunya cara untuk sukses.
Sebut saja namanya Mawar. Skill nyanyi pas-pasan, tapi punya wajah cantik nan rupawan. Bertemu dengan seorang pemilik modal [bisa pengusaha, produser, atau sekadar orang kasihan]. Masuk rekaman dan dengan teknologi rekaman yang lumayan canggih, suaranya bisa didongkrak menjadi agak mendingan.
+++
Industri mungkin seperti revolusi, kadang-kadang “memakan” anak kandungnya sendiri. Mereka tidak peduli bahwa mereka –artis-asti “tersimpan” itu—sejatinya adalah pelaku-pelaku seni yang juga ingin diperhatikan, mengadu keberuntungan, siapa tahu memang punya potensi tapi tidak tahu akses, sampai akhirnya ada “malaikat” yang meski punya “udang dibalik rempeyek” tapi memberinya akses yang tak terbatas.
Sayangnya, di bisnis apapun, pemilik modal atawa kapital nyaris selalu menjadi penentu keputusan. Mereka sudah seperti Tuhan yang menghidupkan dan mematikan talenta, kapan saja dia mau. Mungkin bagus secara kualitas diri, tapi tidak bagus di mata pemilik modal, sama saja dengan berjuang lebih keras. Tidak adil? Mungkin, tapi siapa bisa melawan ketidakadilan itu secara terang-terangan?
+++
Keyakinan saya, musisi, artis, penyanyi, produser atau pemilik modal tanpa passion musikal itu, adalah “pahlawan kesiangan” yang mengatasnamakan musik sebagai peluapan ego pribadi saja. Untungnya mereka punya duit tanpa seri, jadi merasa sah dan terserah saja menjadi “pahlawan kesiangan” itu. Sayangnya pula, “pahlawan kesiangan” biasanya ngacir paling duluan dan cepat saat yang diperjuangkannya mulai tidak mendapat hasil yang diharapkannya. Kalau semua pemilik modal di industri musik seperti itu, berharaplah industri ini tak sekadar menjadi “simpanan” juga, lalu mencampakkannya ketika mulai menemukan “mainan” baru yang lebih menguntungkan. Kalau itu terjadi, saya jamin industri ini kiamat lebih cepat.
by djoko moernantyo
Sumber: AirPutihku
Di jagat ini, nyaris semua lini industri ada yang namanya “menerima dan memberi” entah tulus, entah berpamrih. Dalam konteks kekinian, makin sedikit yang memberi dengan tulus dan menerima dengan sukarela. Selalu ada embel-embel dibalik kerjasama yang menguntungkan itu.
Entah mengapa, banyak orang –entah perempuan atau laki-laki—yang punya mimpi menjadi artis, musisi, penyanyi atau apapun yang berhubungan dengan keterkenalan, popularitas dan hedonisme. Tiga hal itu selalu dianggap sebagai pencapaian dari kata “sukses”.
Ini fakta. Saya punya list beberapa penyanyi perempuan yang sejatinya merupakan ‘simpanan’ dari laki-laki beruang. Simpanan disini artinya, perempuan ini dihidupi secara materi, kadang-kadang berlebih, tapi dia harus siap menjadi “kuda pacu” dari pemilik modal itu. Pelecehan? Kalau secara harafiah, seharusnya ini pelecehan terhadap kemanusian. Kekuasaan lalki-laki bisa mensubordinasi perempuan. Tapi sayangnya, banyak yang menerima hal ini sebagai satu hal yang biasa-biasa saja. Agak miris sebenarnya.
Memang, untuk mencapai puncak itu bukan hal yang mudah. Banyak yang menggunakan kerja keras, logika dan semangat untuk maju, selain memang punya talenta untuk berkembang. Tapi tidak sedikit pula yang memilih jalan pintas, dengan alasan-alasan ekonomi yang masuk akal. Salah? Tidak ada yang salah dengan pilihan itu, yang salah adalah keadaan dan realita yang mengedepankan uang sebagai satu-satunya cara untuk sukses.
Sebut saja namanya Mawar. Skill nyanyi pas-pasan, tapi punya wajah cantik nan rupawan. Bertemu dengan seorang pemilik modal [bisa pengusaha, produser, atau sekadar orang kasihan]. Masuk rekaman dan dengan teknologi rekaman yang lumayan canggih, suaranya bisa didongkrak menjadi agak mendingan.
+++
Industri mungkin seperti revolusi, kadang-kadang “memakan” anak kandungnya sendiri. Mereka tidak peduli bahwa mereka –artis-asti “tersimpan” itu—sejatinya adalah pelaku-pelaku seni yang juga ingin diperhatikan, mengadu keberuntungan, siapa tahu memang punya potensi tapi tidak tahu akses, sampai akhirnya ada “malaikat” yang meski punya “udang dibalik rempeyek” tapi memberinya akses yang tak terbatas.
Sayangnya, di bisnis apapun, pemilik modal atawa kapital nyaris selalu menjadi penentu keputusan. Mereka sudah seperti Tuhan yang menghidupkan dan mematikan talenta, kapan saja dia mau. Mungkin bagus secara kualitas diri, tapi tidak bagus di mata pemilik modal, sama saja dengan berjuang lebih keras. Tidak adil? Mungkin, tapi siapa bisa melawan ketidakadilan itu secara terang-terangan?
+++
Keyakinan saya, musisi, artis, penyanyi, produser atau pemilik modal tanpa passion musikal itu, adalah “pahlawan kesiangan” yang mengatasnamakan musik sebagai peluapan ego pribadi saja. Untungnya mereka punya duit tanpa seri, jadi merasa sah dan terserah saja menjadi “pahlawan kesiangan” itu. Sayangnya pula, “pahlawan kesiangan” biasanya ngacir paling duluan dan cepat saat yang diperjuangkannya mulai tidak mendapat hasil yang diharapkannya. Kalau semua pemilik modal di industri musik seperti itu, berharaplah industri ini tak sekadar menjadi “simpanan” juga, lalu mencampakkannya ketika mulai menemukan “mainan” baru yang lebih menguntungkan. Kalau itu terjadi, saya jamin industri ini kiamat lebih cepat.
by djoko moernantyo
Sumber: AirPutihku