mau band kamu ada disini? atau lagumu dishare disini? GRATIS....!!! buat anak band yang dah punya lagu sendiri n pengen dishare ke temen-temen laen, disini tempatnya...

ikuti aturan mainnya:
1. kirimkan lagu jadi dengan audio mixing yang normal dilengkapi dengan profil band via email ke: deditsabit@gmail.com
2. beri judul emailnya dengan nama "BAND"
3. konfirmasikan pengiriman via chatbox yang tersedia di sebelah kiri
4. ditunggu hingga proses penyuntingan selesai untuk diluncurkan...

jika ada perubahan dengan lagu, data atau lagunya tidak ingin dipublikasikan di blog ini lagi, segera hubungi admin, atas kerjasamanya kami sampaikan terima kasih dan salam tiga jari untuk mengharumkan citra musik Indonesia...

Photobucket

Post

“Kutukan” di Musik Indonesia

SAYA tahu, kalau Anda musisi atau pegiat musik di ranah industri, langsung mencak-mencak membaca judul tulisan ini. Seolah, industri musik Indonesia sedang mengalami masa kegelapan akut dan kudu di-ruwat supaya kegelapan itu sirna. Sebenarnya, saya tidak sedang mengulik soal ada “kutukan” apa di industri musik Indonesia, tapi saya mencoba menganalogikan sebuah ritme kehidupan industri yang sehat.

Ada penulis yang mengatakan “kutukan” adalah rambu-rambu kebudayaan. Makna yang tersirat dari pernyataan itu adalah, setiap kebudayaan yang dilahirkan sejatinya punya “kutukan” masing-masing, sebagai penjaga kontinuitas untuk melakukan aktivitas budaya. Musik sebagai bagian dari budaya, seharusnya punya wacana untuk mengembangkan diri dengan strategi kultural yang bisa dijadikan patokan. Sayangnya, bukan seperti itu yang terjadi di Indonesia. Yang paling banyak adalah saling mengutuk, ketika merasa musikalitasnya diremehkan atau tidak dianggap atau justru merasa paling hebat.

Agak klise sebenarnya, saat semua musisi [dengan meremehkan musisi lain] menyebut karyanya sudah dewasa. Hati-hati dengan kata dewasa tadi. Kaena kedewasaan itu menentukan apa yang direncanakan, apa yang dilakukan serta apa yang diputuskan. Sedangkan kutukan adalah perkataan ‘gak enak’ yang ditujukan kepada seseorang dengan harapan orang tersebut ditimpa bencana atau mengalami perkara yang buruk.

Terlalu berlebihankah? Buat Anda yang benar-benar terlibat dan mengetahu isi jeroan sebuah industri [musik] Indonesia, mungkin akan mengamini apa yang saya katakan. Menjadi ‘kawan seiring’ dalam industri ini, rasanya susah banget. Yang ada, ingin mejadi sprinter dan mencapai finish duluan. Sayangnya, mereka –pelaku industri—tidak dibekali dengan latihan, atau fisik yang memadai. Alhasil, boro-boro masuk finish, di tengah kompetisi, biasanya sudah kehabisan napas dan akhirnya pingsan.

Impotensi musisi dan industrinya di hadapan demikian banyak gejolak sosio-kultural dalam musik, seharusnya tidak terjadi. Dan salah satu yang paling telak adalah: keyakinan baru bahwa “kebenaran musikal” bukanlah sesuatu yang sekadar ditemukan, melainkan sesuatu yang dibentuk, di kondisikan. Segala klaim musisi tentang “kehebatan tunggalnya” adalah “bikin-bikinan” dan arogan.

Di hadapan itu semua, musisi dan industrinya seringkali kebingungan dan tidak siap. Kecenderungan menghujat seringkali tak lebih dari isyarat ketakberdayaan yang putus asa. Pada titik ini, sepertinya salah satu kunci penting yang tak terelakkan bagi musisi untuk bisa bangkit dan tampil baru secara realistis adalah memodernisasikan diri, bahkan ketika saat ini kemodernan itu sendiri dianggap telah lewat.

Berlomba-lomba menjadi musisi yang “paling agung” sebenarnya adalah “kutukan” karena kemudian akan merasa dirinya yang “maha”,  paling tidak dalam ranah industri itu sendiri. Dan setelah itu tercapai, dia atau mereka akan jadi pengutuk. Mimpi menjadi dewa dan akhirnya merasa dunia dia yang punya. Sombong? Mungkin lebih tepat disebut ‘manusia luar angkasa’ melayang-layang dan tak pernah mau kembali. Sayangnya, itu masih banyak terjadi. Musisi, Promotor, Label atau Artis – bejibun yang bodoh dan tak tahu apa-apa soal apa yang dilakukannya sendiri. Itukah “kutukan” di industri musik Indonesia?

by djoko moernantyo

Sumber: AirPutihku

cek band/ daerahmu disini:

bali, bandung, bogor, bojonegoro, depok, jakarta, jember, kudus, lumajang, makassar, malang, pamekasan, probolinggo, purwokerto, semarang, situbondo, sumenep, surabaya, tangerang, dll.
supported by deditsabit