Menjadi MANUSIA & MUSISI MANEKIN
BERDIRI di sisi yang berseberangan, memang tak mudah. Selalu ada garis tengah yang harus dikorbankan. Jujur saya bertanya, apakah ada yang merasa nyaman dengan pilihan-pilihan seperti itu? Seharusnya tidak, kecuali jika diperhadapkan pada pilihan-pilihan yang dilematis. Ibarat pepatah, seperti buah simalakama. Serba memusingkan.
Dalam teori komunikasi, ada satu istilah yang disebut magnitude yang dimaknai sampai sejauhmana apa yang kita lakukan itu memberi pengaruh kepada sekitar kita [dan tentu saja kepada diri kita sendiri]. Dalam diorama yang terpampang di depan hidup kita, magnitude memang akhirnya membentuk karakter kita.
Ketika memuja, sejatinya kita berada pada sebuah persimpangan. Kita diperhadapkan pada pilihan yang dilematis dan kronis. Dilematis, karena kadang-kadang kita kudu mengabaikan hal-hal yang mungkin kita tidak sepakat, tidak kita sukai, dan kehilangan jatidiri. Atas nama pemujaan, kita bisa kehilangan. Kronis, karena bisa addict dengan pemujaan dan kerap melakukan hal-hal bodoh yang disesali lama kemudian. Kadang-kadang tidak menggunakan akal sehat.
Tapi ada kok, manusia yang selalu memilih berada di persimpangan. Kebingungan dengan arah mana yang harus ditempuh, ragu-ragu untuk memilih jalur, dan bisa terjerumus. Bukan orang bodoh, karena justru manusia berpendidikan, punya kelas dan cerdas dalam sudut pandang wawasan.
Dilematis selanjutnya adalah menjadi manekin. Ini adalah patung bisu yang dipajang sebagai etalase pakaian. Karena benda mati, manekin ini rela diperlakukan apa saja. Ditendang, ditelanjangi, digusur dan mungkin dibuang, tanpa bisa melawan. Namanya juga benda mati. Tapi bagaimana ketika benda hidup , berotak, berpikir, bernama manusia, diperlakukan seperti manekin itu? Harus kalau wajar, dia akan melawan. Yang memperlakukan aktivitas itu pun juga bisa dibilang tidak wajar, atas nama apapun. Kalau diam dan tak melawan, manusia itu disebut manusia manekin. Entah apa alasannya, karena bodoh, sayang, cinta, tolol atau pasrah?
Sisi lainnya adalah yang disebut significance. Seberapa penting sisi-sisi yang kita pilih itu menjadi satu aktivitas kita atas kemanusiaan. Banyak hal [tidak] penting terjadi, dan itu bisa dianggap penting oleh sisi yang satu, sementara satunya menganggap itu tidak penting. Terserah, dari sisi mana melihatnya.
Proximity menjadi sebuah lelucon, karena dengan memperlakukan manusia lain seperti manekin itu, unsur kedekatan itu berubah menjadi ‘hamba’ dan ‘budak’ dalam versi halus. Dan itu banyak terjadi dalam kimiawi urusan hati. Bagaimana pasangan yang satu memperlakukan pasangan lainnya seperti ‘budak’ meski tidak terasa karena mengaku melakukannya atas nama cinta. Persetan!
Manusia manekin, sejatinya bukan kelemahan, tapi dia mempertimbangkan banyak hal untuk melawan. Manusia manekin itu punya kekuatan “dalam” yang orang tidak pernah duga. Ketika kelak manekin ini meledak, percayalah, pendampingnya akan ‘sangat kehilangan’. Jadikanlah manekin itu, manusia yang benar-benar dicintai. Karena, dia tidak akan meledak.
by djoko moernantyo
Sumber: AirPutihku
Dalam teori komunikasi, ada satu istilah yang disebut magnitude yang dimaknai sampai sejauhmana apa yang kita lakukan itu memberi pengaruh kepada sekitar kita [dan tentu saja kepada diri kita sendiri]. Dalam diorama yang terpampang di depan hidup kita, magnitude memang akhirnya membentuk karakter kita.
Ketika memuja, sejatinya kita berada pada sebuah persimpangan. Kita diperhadapkan pada pilihan yang dilematis dan kronis. Dilematis, karena kadang-kadang kita kudu mengabaikan hal-hal yang mungkin kita tidak sepakat, tidak kita sukai, dan kehilangan jatidiri. Atas nama pemujaan, kita bisa kehilangan. Kronis, karena bisa addict dengan pemujaan dan kerap melakukan hal-hal bodoh yang disesali lama kemudian. Kadang-kadang tidak menggunakan akal sehat.
Tapi ada kok, manusia yang selalu memilih berada di persimpangan. Kebingungan dengan arah mana yang harus ditempuh, ragu-ragu untuk memilih jalur, dan bisa terjerumus. Bukan orang bodoh, karena justru manusia berpendidikan, punya kelas dan cerdas dalam sudut pandang wawasan.
Dilematis selanjutnya adalah menjadi manekin. Ini adalah patung bisu yang dipajang sebagai etalase pakaian. Karena benda mati, manekin ini rela diperlakukan apa saja. Ditendang, ditelanjangi, digusur dan mungkin dibuang, tanpa bisa melawan. Namanya juga benda mati. Tapi bagaimana ketika benda hidup , berotak, berpikir, bernama manusia, diperlakukan seperti manekin itu? Harus kalau wajar, dia akan melawan. Yang memperlakukan aktivitas itu pun juga bisa dibilang tidak wajar, atas nama apapun. Kalau diam dan tak melawan, manusia itu disebut manusia manekin. Entah apa alasannya, karena bodoh, sayang, cinta, tolol atau pasrah?
Sisi lainnya adalah yang disebut significance. Seberapa penting sisi-sisi yang kita pilih itu menjadi satu aktivitas kita atas kemanusiaan. Banyak hal [tidak] penting terjadi, dan itu bisa dianggap penting oleh sisi yang satu, sementara satunya menganggap itu tidak penting. Terserah, dari sisi mana melihatnya.
Proximity menjadi sebuah lelucon, karena dengan memperlakukan manusia lain seperti manekin itu, unsur kedekatan itu berubah menjadi ‘hamba’ dan ‘budak’ dalam versi halus. Dan itu banyak terjadi dalam kimiawi urusan hati. Bagaimana pasangan yang satu memperlakukan pasangan lainnya seperti ‘budak’ meski tidak terasa karena mengaku melakukannya atas nama cinta. Persetan!
Manusia manekin, sejatinya bukan kelemahan, tapi dia mempertimbangkan banyak hal untuk melawan. Manusia manekin itu punya kekuatan “dalam” yang orang tidak pernah duga. Ketika kelak manekin ini meledak, percayalah, pendampingnya akan ‘sangat kehilangan’. Jadikanlah manekin itu, manusia yang benar-benar dicintai. Karena, dia tidak akan meledak.
by djoko moernantyo
Sumber: AirPutihku