Promotor Nyebelin? Bikin KPK – “Komisi Pengawas Kepromotoran” Yuuuuk…
MENDATANGKAN artis kelas dunia memang bukan perkara mudah. Butuh proses dan networking yang tidak sederhana. Selain itu tentu saja ada nominal dalam jumlah yang bisa “membeli kerupuk untuk satu negara” saking banyaknya duit itu. Bahwa kemudian banyak artis kelas dunia bisa didatangkan ke Indonesia, jelas sangat dihargai oleh penggemar artis atau musisi itu.
Tanpa mengurangi rasa hormat [kaya undangan kawinan], banyak promotor baru yang bermunculan dan perlu dikritisi. Saya harus tegaskan, mengritisi dengan menjatuhkan itu dua hal yang berbeda. Kalau mengritisi adalah kritik dengan masukan, meski terasa pedas. Sedang menjatuhkan, adalah mencari kesalahan tanpa solusi.
Jadi mari mengkritisi, karena ternyata kenyamanan, keamanan dan “kemanusiaan” penonton kerap dilewati karena mengejar keuntungan menggunung di depan mata. Saya tidak bicara satu promotor saja, tapi mari kita melihat semua promotor yang sering mendatangkan musisi asing.
Ini hanya ide ‘omong-kosong’ ketika promotor –siapapun dia—entah versi lokal, regional atau internasional, menggagas, mewartakan dan akhirnya menggelar acara besar, ada banyak hal yang perlu dilihat, untuk tidak mengatakan diawasi. Perhatikan dari awal, cara mengumumkan event yang akan digelar, pre-sale, cara penjualan tiket, pembagian tiket, pengurusan ID press, pengaturan gate, hingga kelar acara. Masih ada yang ‘meremehkan’ penonton dan media lokal loh.
Nah, seperti pemilihan umum atau KPK, mengapa kita tidak membuat pengawas promotor? Bukan untuk mencari kelemahan, tapi sekadar menegaskan bahwa apa yang menjadi hak penonton didapat dengan baik benar. Kemudian juga bisa bersama-sama melakukan class action ketika promotor melakukan hal-hal yang merugikan penonton. Mengapa hal ini menjadi penting? Karena belum ada asosiasi promotor yang punya aturan jelas tentang etika kepromotoran.
Tapi yang saya sarankan adalah gerakan penonton [audiens movement]. Lakukan catatan-catatan penting untuk hal-hal yang merugikan. Kalau kemudian banyak yang dirugikan, lakukan ‘perlawanan’ atau membentuk semacam ‘watchdog’ dari penonton-penonton yang concern setiap konser. Tidak mudah memang, tapi media sosial bisa dimanfaatkan dengan maksimal untuk menggalang dukungan dan ‘watchdog’ versi penonton. Kalau ada yang dirugikan, silakan laporkan. Catat promotor yang paling banyak merugikan penonton. Kalau kemudian banyak yang bergabung dan mau menjadi pengawas independen itu, niscaya akan banyak promotor yang mikir kalau bikin aktivitas yang bakal merugikan penonton. Kecuali memang mereka budeg dan tak punya mata. Harusnya ada langkah-langkah perbaikan untuk next concert.
Kan kita mau nonton konser dengan nyaman, bukan sekadar disedot uangnya tapi diperlakukan gak enak. Begitu bukan?
by djoko moernantyo
Sumber: AirPutihku
Tanpa mengurangi rasa hormat [kaya undangan kawinan], banyak promotor baru yang bermunculan dan perlu dikritisi. Saya harus tegaskan, mengritisi dengan menjatuhkan itu dua hal yang berbeda. Kalau mengritisi adalah kritik dengan masukan, meski terasa pedas. Sedang menjatuhkan, adalah mencari kesalahan tanpa solusi.
Jadi mari mengkritisi, karena ternyata kenyamanan, keamanan dan “kemanusiaan” penonton kerap dilewati karena mengejar keuntungan menggunung di depan mata. Saya tidak bicara satu promotor saja, tapi mari kita melihat semua promotor yang sering mendatangkan musisi asing.
Ini hanya ide ‘omong-kosong’ ketika promotor –siapapun dia—entah versi lokal, regional atau internasional, menggagas, mewartakan dan akhirnya menggelar acara besar, ada banyak hal yang perlu dilihat, untuk tidak mengatakan diawasi. Perhatikan dari awal, cara mengumumkan event yang akan digelar, pre-sale, cara penjualan tiket, pembagian tiket, pengurusan ID press, pengaturan gate, hingga kelar acara. Masih ada yang ‘meremehkan’ penonton dan media lokal loh.
Nah, seperti pemilihan umum atau KPK, mengapa kita tidak membuat pengawas promotor? Bukan untuk mencari kelemahan, tapi sekadar menegaskan bahwa apa yang menjadi hak penonton didapat dengan baik benar. Kemudian juga bisa bersama-sama melakukan class action ketika promotor melakukan hal-hal yang merugikan penonton. Mengapa hal ini menjadi penting? Karena belum ada asosiasi promotor yang punya aturan jelas tentang etika kepromotoran.
Tapi yang saya sarankan adalah gerakan penonton [audiens movement]. Lakukan catatan-catatan penting untuk hal-hal yang merugikan. Kalau kemudian banyak yang dirugikan, lakukan ‘perlawanan’ atau membentuk semacam ‘watchdog’ dari penonton-penonton yang concern setiap konser. Tidak mudah memang, tapi media sosial bisa dimanfaatkan dengan maksimal untuk menggalang dukungan dan ‘watchdog’ versi penonton. Kalau ada yang dirugikan, silakan laporkan. Catat promotor yang paling banyak merugikan penonton. Kalau kemudian banyak yang bergabung dan mau menjadi pengawas independen itu, niscaya akan banyak promotor yang mikir kalau bikin aktivitas yang bakal merugikan penonton. Kecuali memang mereka budeg dan tak punya mata. Harusnya ada langkah-langkah perbaikan untuk next concert.
Kan kita mau nonton konser dengan nyaman, bukan sekadar disedot uangnya tapi diperlakukan gak enak. Begitu bukan?
by djoko moernantyo
Sumber: AirPutihku