Tanya Yang Tak Dapat Diam, Suara Yang Tak Dapat Dibungkam
SAYA TERINGAT seorang Wiji Thukul, penyair “perlawanan” yang kerap bersuara keras lewat puisi-puisinya. Laki-laki yang tumbuh dalam kehidupan kelompok marginal yang kerap tersisihkan itu, menjadi ikon perlawanan lantaran corong karyanya selalu tegas dan keras berpijak pada kehidupan yang dia lihat, alami dan rasakan. Risikonya memang tidak ringan, dan pilihan itulah yang membuat Wiji Thukul kemudian “lenyap” tak ketahuan rimbanya, bahkan sampai saat ini.
Mengapa saya memberi contoh seorang penyair? Wartawan –apapun bidangnya— sebenarnya seperti penyair, menyuarakan apa yang dia lihat, alami dan rasakan. Mau keras bisa, mau lembut bisa, tapi mau jadi lembek juga bisa. Macam-macam sebabnya. Ada yang benar-benar berdiri atas nama idealisme jurnalis. Meskipun di era yang serba korup ini, idealisme seperti omong kosong yang merdu suaranya.
Tapi mempertahankan jatidiri sebagai jurnalis yang berani bersuara lantang, karena memang mempertanyakan hal-hal yang harus dipertanyakan, haruslah ada. Ketika jurnalis hanya berpatokan pada fakta-fata reguler yang tampak di permukaan, harusnya dia hanya menjadi “juru ketik” saja, karena tidak pernah bertanya dengan dalam darimana hal-hal yang nampak itu didapat.
Risiko seperti itu adalah, dimengerti dan dipahami sebagai bagian dari kontrol sosial jurnalis, tapi juga dianggap sebagai komprador yang membuat area nyaman [dan tak terusik] menjadi kegelisahan karena harus menyodorkan fakta, yang mungkin tidak enak dirilis. Mungkin juga dianggap sebagai ‘enemy’ yang harus disingkirkan jauh-jauh. Kalau hanya “diminggirkan” dari arena mah, soal sepele itu. Tapi kalau kemudian dikriminalisasi, dibunuh atau dibungkam dalam arti sebenarnya, itu yang harus dilawan.
Baiklah kita cukilkan suara dari Wiji Thukul itu:
……..sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
by djoko moernantyo
Sumber: AirPutihku
Mengapa saya memberi contoh seorang penyair? Wartawan –apapun bidangnya— sebenarnya seperti penyair, menyuarakan apa yang dia lihat, alami dan rasakan. Mau keras bisa, mau lembut bisa, tapi mau jadi lembek juga bisa. Macam-macam sebabnya. Ada yang benar-benar berdiri atas nama idealisme jurnalis. Meskipun di era yang serba korup ini, idealisme seperti omong kosong yang merdu suaranya.
Tapi mempertahankan jatidiri sebagai jurnalis yang berani bersuara lantang, karena memang mempertanyakan hal-hal yang harus dipertanyakan, haruslah ada. Ketika jurnalis hanya berpatokan pada fakta-fata reguler yang tampak di permukaan, harusnya dia hanya menjadi “juru ketik” saja, karena tidak pernah bertanya dengan dalam darimana hal-hal yang nampak itu didapat.
Risiko seperti itu adalah, dimengerti dan dipahami sebagai bagian dari kontrol sosial jurnalis, tapi juga dianggap sebagai komprador yang membuat area nyaman [dan tak terusik] menjadi kegelisahan karena harus menyodorkan fakta, yang mungkin tidak enak dirilis. Mungkin juga dianggap sebagai ‘enemy’ yang harus disingkirkan jauh-jauh. Kalau hanya “diminggirkan” dari arena mah, soal sepele itu. Tapi kalau kemudian dikriminalisasi, dibunuh atau dibungkam dalam arti sebenarnya, itu yang harus dilawan.
Baiklah kita cukilkan suara dari Wiji Thukul itu:
……..sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
by djoko moernantyo
Sumber: AirPutihku